Content Created with the help of AI |
Daftar Isi
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada situasi yang membutuhkan keputusan cepat, bahkan ketika tidak ada cukup bukti untuk memastikan kebenaran dari proposisi yang dihadapi.
Contohnya, bayangkan Anda harus memutuskan apakah jumlah bintang di alam semesta adalah ganjil atau genap, tanpa bukti yang mendukung salah satu pilihan. Dalam dunia epistemik, tindakan membentuk keyakinan dalam situasi seperti ini disebut sebagai taruhan keyakinan.
Konsep taruhan keyakinan membawa kita ke inti pertanyaan dalam epistemologi: kapan tepatnya seseorang boleh membentuk keyakinan, terutama ketika bukti tidak memberikan alasan kuat untuk mendukung satu proposisi dibandingkan lainnya?
Norma utama yang diajukan oleh para filsuf adalah Belief Gamble Aversion (Penolakan Taruhan Keyakinan), yang menyarankan bahwa seseorang hanya boleh mempercayai sesuatu jika probabilitas epistemiknya lebih besar dari 50%.
Namun, meskipun norma ini tampak sederhana, memberikan justifikasi filosofis yang kuat untuk menolaknya ternyata menjadi tantangan besar dalam teori keputusan epistemik.
Artikel ini akan mengeksplorasi konsep taruhan keyakinan melalui lensa teori keputusan epistemik, membahas kerangka kerja formal yang mendasarinya, dan menjelaskan mengapa norma ini memunculkan dilema filosofis yang signifikan.
Apa Itu Taruhan Keyakinan?
Taruhan keyakinan mengacu pada pembentukan keyakinan terhadap proposisi tertentu ketika bukti yang ada tidak membuat proposisi itu lebih mungkin benar daripada salah.
Sebagai ilustrasi, bayangkan seseorang melempar koin dan Anda diminta untuk memprediksi hasilnya. Jika peluang kepala dan ekor masing-masing adalah 50%, apakah rasional untuk percaya bahwa hasilnya akan kepala?
Para epistemolog yang mendukung norma Penolakan Taruhan Keyakinan akan menjawab "tidak," karena probabilitas epistemik dari proposisi tersebut tidak melebihi 50%.
Namun, ada individu yang bersedia mengambil taruhan ini, seperti yang dicontohkan oleh Pak Risiko. Dalam skenario lemparan koin, Pak Risiko lebih memilih untuk membentuk keyakinan bahwa hasilnya kepala, sementara Ibu Cermat memilih untuk menahan diri dari membentuk keyakinan sama sekali.
Perbedaan ini membawa kita pada pertanyaan mendasar: apa yang salah dengan mengambil taruhan keyakinan?
Debat Clifford dan James: Perspektif Sejarah
Debat ini bukanlah hal baru dalam filsafat. Pada abad ke-19, William Clifford dan William James menawarkan pandangan yang bertolak belakang tentang norma-norma epistemik. Clifford, melalui esainya yang terkenal, The Ethics of Belief, menegaskan bahwa adalah salah bagi siapa pun untuk mempercayai sesuatu tanpa bukti yang cukup.
Ia berpendapat bahwa menghindari kesalahan lebih penting daripada mencari kebenaran, karena keyakinan yang salah dapat menyebabkan konsekuensi yang merugikan bagi individu maupun masyarakat.
Sebaliknya, James menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel. Dalam The Will to Believe, ia berargumen bahwa menghindari kesalahan dan mengejar kebenaran adalah dua tujuan epistemik yang sering kali bertentangan.
Menurutnya, standar bukti yang terlalu ketat, seperti yang diajukan Clifford, dapat menghalangi seseorang untuk menemukan kebenaran. James percaya bahwa keputusan epistemik sering kali dipengaruhi oleh "sifat pasional" manusia, seperti preferensi atau temperamen pribadi.
Dengan kata lain, tidak ada jawaban universal tentang bagaimana seseorang harus menyeimbangkan kedua tujuan tersebut.
Debat antara Clifford dan James tetap relevan hingga saat ini. Ketika teori keputusan epistemik mencoba memberikan dasar normatif untuk norma melawan taruhan keyakinan, ia menghadapi tantangan yang sama yang dihadapi oleh kedua filsuf tersebut: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan untuk menghindari kesalahan dengan dorongan untuk mengejar kebenaran?
Teori Keputusan Epistemik: Sebuah Kerangka Formal
Teori keputusan epistemik adalah pendekatan yang menggunakan alat-alat formal dari teori keputusan untuk mengevaluasi rasionalitas keyakinan. Dalam kerangka ini, dunia epistemik dianggap sebagai himpunan kemungkinan, di mana setiap dunia menggambarkan cara dunia mungkin bekerja.
Misalnya, dalam kasus jumlah bintang, dunia epistemik mencakup semua kemungkinan di mana jumlah bintang adalah ganjil atau genap.
Tiga elemen utama digunakan untuk mengevaluasi keyakinan: probabilitas epistemik, nilai epistemik, dan aturan keputusan.
Probabilitas epistemik menunjukkan sejauh mana bukti mendukung suatu proposisi, sementara nilai epistemik mengukur manfaat dari keyakinan yang benar dan kerugian dari keyakinan yang salah.
Aturan keputusan, seperti Dominance atau Maximin, menentukan sikap epistemik mana yang diperbolehkan berdasarkan bukti yang tersedia.
Dalam konteks taruhan keyakinan, norma Penolakan Taruhan Keyakinan menyatakan bahwa seseorang hanya boleh mempercayai proposisi jika probabilitas epistemiknya lebih besar dari 50%.
Namun, memberikan justifikasi untuk norma ini melalui kerangka teori keputusan menghadirkan tantangan besar.
Tiga Strategi untuk Mengesahkan Norma
Penulis artikel ini mengidentifikasi tiga strategi utama untuk memberikan justifikasi bagi norma melawan taruhan keyakinan:
Pertama, mengganti aturan Dominance dengan aturan keputusan yang lebih risk-averse, seperti Maximin. Aturan Maximin menyarankan untuk memilih opsi dengan hasil terburuk terbaik. Dalam konteks epistemik, ini berarti menahan diri dari membentuk keyakinan kecuali jika probabilitasnya sangat tinggi.
Namun, aturan ini dianggap terlalu konservatif, karena mencegah pembentukan keyakinan bahkan dalam situasi di mana bukti cukup kuat.
Kedua, mengubah fungsi nilai epistemik untuk membuat menghindari kesalahan lebih penting daripada mencari kebenaran. Misalnya, memperkenalkan Risk-Averse Veritism, yang menyatakan bahwa disnilai kesalahan lebih besar daripada nilai kebenaran.
Namun, pendekatan ini menimbulkan pertanyaan: mengapa kesalahan dianggap lebih signifikan daripada kebenaran? Selain itu, pendekatan ini sulit dijustifikasi tanpa melibatkan faktor eksternal, seperti pertimbangan praktis, yang bertentangan dengan prinsip Veritisme.
Ketiga, menggunakan prinsip eksternal seperti Non-Contradiction atau Impermissivism. Prinsip Non-Contradiction melarang seseorang untuk mempercayai suatu proposisi dan negasinya secara bersamaan. Impermissivism menyatakan bahwa hanya ada satu keyakinan yang rasional untuk setiap set bukti tertentu.
Namun, kedua prinsip ini sering kali dianggap terlalu lemah atau kontroversial untuk memberikan justifikasi penuh bagi norma melawan taruhan keyakinan.
Dilema dan Tantangan Filosofis
Hasil dari analisis ini adalah dilema yang dihadapi teori keputusan epistemik. Untuk memberikan justifikasi bagi norma melawan taruhan keyakinan, kita harus memilih antara membuat asumsi yang sulit dibenarkan atau menerima bahwa taruhan keyakinan dapat rasional.
Kedua pilihan ini menghadirkan tantangan besar, terutama bagi pendekatan berbasis konsekuensialisme epistemik.
Penulis berpendapat bahwa mungkin diperlukan pendekatan alternatif, seperti teori deontologis atau epistemologi berbasis pengetahuan, untuk memberikan landasan yang lebih kokoh bagi norma ini.
Namun, hingga saat ini, masih ada celah dalam pemahaman kita tentang bagaimana norma-norma epistemik dapat dibenarkan secara teoritis.
Kesimpulan
Taruhan keyakinan adalah isu yang mendalam dalam epistemologi, yang menyentuh pada pertanyaan tentang bagaimana manusia membentuk keyakinan dalam kondisi ketidakpastian.
Meskipun norma melawan taruhan keyakinan tampak intuitif, memberikan justifikasi filosofis yang kuat tetap menjadi tantangan yang signifikan.
Teori keputusan epistemik menawarkan wawasan yang berharga, tetapi juga mengungkapkan keterbatasannya dalam menjelaskan rasionalitas keyakinan.
Untuk memahami lebih jauh bagaimana norma-norma epistemik dapat dibenarkan, eksplorasi lebih lanjut diperlukan, baik melalui pendekatan baru dalam epistemologi maupun melalui integrasi teori-teori yang ada.
Referensi
- Mattias Skipper, "Belief Gambles in Epistemic Decision Theory", Philosophical Studies (2016). https://doi.org/10.1007/s11098-020-01438-7