New Post: Melampaui Supranatural: Memahami Perang Badar Secara Realistis Read

Mukjizat, Konspirasi, dan Kecenderungan Manusia terhadap Hal-Hal Luar Biasa: Sebuah Tinjauan Humean

Mukjizat, teori konspirasi, dan kecenderungan manusia pada yang tidak masuk akal. Sebuah analisis berdasarkan pemikiran David Hume.
8 mins Read
Mukjizat, Konspirasi, dan Kecenderungan Manusia terhadap Hal-Hal Luar Biasa: Sebuah Tinjauan Humean
Content Created with the help of AI
Daftar Isi

Salah satu kontribusi David Hume yang paling terkenal (atau kontroversial) dalam filsafat adalah argumennya tentang mukjizat dalam An Enquiry into Human Understanding (1748). Hume berpendapat bahwa kita tidak pernah memiliki alasan yang cukup untuk mempercayai terjadinya mukjizat. Jika mukjizat didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap hukum alam, maka ketika seseorang mengklaim telah menyaksikan mukjizat, untuk mempercayainya, kita harus meyakini bahwa pelanggaran hukum alam lebih mungkin terjadi daripada tidak. Artinya, kita perlu menganggap kesaksian orang tersebut lebih berbobot daripada seluruh pengalaman manusia yang menunjukkan bahwa hukum alam selalu konsisten.

Namun, Hume menekankan bahwa kita tidak pernah berada dalam posisi untuk memperlakukan kesaksian seperti itu lebih berat dibandingkan dengan bukti akumulatif dari pengalaman manusia. Bahkan, jika kita sendiri berpikir telah menyaksikan mukjizat, kemungkinan besar ada penjelasan lain yang lebih masuk akal sesuai dengan hukum alam. Kesimpulannya, Hume berpendapat bahwa kita tidak boleh percaya pada mukjizat.

Keajaiban dan Kecenderungan Manusia pada Hal yang Tidak Masuk Akal

Argumen Hume ini terus memancing perdebatan di kalangan filsuf dan teolog hingga hari ini. Sebagian orang menganggapnya sebagai argumen yang menghancurkan kepercayaan pada agama wahyu, sementara yang lain melihatnya sebagai kegagalan logis. Namun, terlepas dari kontroversi itu, Hume juga mengungkapkan sesuatu yang lebih menarik: kecenderungan manusia untuk mempercayai hal-hal supernatural justru karena klaim-klaim tersebut bersifat tidak masuk akal dan mustahil.

Dalam urusan sehari-hari, menurut Hume, kita biasanya mengandalkan pengalaman kita sebelumnya untuk menilai sesuatu. Jika sesuatu tampak lebih mungkin berdasarkan pengalaman masa lalu, kita cenderung mempercayainya; jika tidak, kita cenderung menolaknya. Namun, pendekatan ini tampaknya terbalik ketika menyangkut klaim yang "benar-benar absurd dan ajaib". Hume mengamati bahwa ketika mendengar kisah-kisah seperti itu, pikiran kita sering kali justru condong mempercayainya karena ketidakmasukakalannya.

Fenomena Keajaiban dalam Konteks Modern

Untuk memahami argumen Hume, mari gunakan contoh modern. Bayangkan foto hitam putih yang menunjukkan pria berseragam militer di gurun sedang memegang serpihan logam. Berdasarkan pengetahuan umum, serpihan itu kemungkinan besar adalah puing balon cuaca atau pesawat jatuh. Tetapi, jika saya mengatakan bahwa itu adalah sisa-sisa pesawat luar angkasa yang jatuh di Roswell pada tahun 1947, banyak orang mungkin akan langsung percaya.

Hume berpendapat bahwa fenomena ini bukan hanya soal mempercayai teori yang tidak masuk akal meskipun ada banyak bukti yang menentangnya. Lebih dari itu, orang cenderung mempercayai teori yang tidak masuk akal karena ketidakmasukakalannya. Pemrosesan mental ini, kata Hume, menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Hume menyebut kecenderungan ini sebagai “kecenderungan manusia pada keajaiban” (the propensity of mankind towards the marvellous). Menurutnya, kecenderungan ini menjadi semakin kuat ketika digabungkan dengan dorongan keagamaan. Klaim seperti seseorang berjalan di atas air, memberi makan 5.000 orang dengan roti dan ikan yang sangat sedikit, atau bangkit dari kematian, jelas terdengar mustahil. Namun, jika dikombinasikan dengan keinginan untuk percaya pada Tuhan yang maha kuasa dan mahapengasih, serta pengaruh pendakwah yang karismatik, kepercayaan terhadap hal-hal tidak masuk akal ini menjadi lebih kuat.

Penyebab dan Konsekuensi

Hume berpendapat bahwa kecenderungan ini adalah “bug” dalam pemrosesan mental kita. Ketika menghadapi klaim-klaim ajaib yang sebenarnya tidak mungkin, kita justru lebih mudah mempercayainya. Pertanyaannya adalah, mengapa manusia memiliki kecenderungan seperti ini?

Salah satu penjelasan mungkin terkait dengan pentingnya kesaksian dalam evolusi manusia. Manusia memperoleh keuntungan besar dari kemampuan berbagi informasi, seperti mempercayai kesaksian orang lain tentang bahaya tertentu. Meskipun ada risiko kesaksian palsu, mempercayainya sering kali lebih aman daripada memeriksa setiap hal sendiri.

Namun, mengapa kecenderungan untuk percaya pada hal-hal yang “ajaib dan mustahil” muncul? Beberapa ilmuwan evolusi menyebutnya sebagai "spandrel", yaitu produk sampingan dari adaptasi lain yang berguna, tetapi tidak memiliki manfaat langsung. Bisa jadi, kepercayaan pada hal-hal supranatural membantu menciptakan hierarki kelompok, mempererat kerja sama, atau sekadar memberikan rasa aman di tengah ketidakpastian.

Kecenderungan Keajaiban dalam Konspirasi Modern

Hume, tentu saja, menulis sebelum masa Darwin dan internet. Namun, pengamatan Hume tentang kecenderungan manusia terhadap hal-hal ajaib ternyata relevan dengan fenomena modern, seperti teori konspirasi. Banyak teori konspirasi mengandalkan pola pikir yang sama: mempercayai sesuatu bukan karena masuk akal, tetapi karena ketidakmasukakalannya.

Contoh teori konspirasi yang mencerminkan ini antara lain:

  1. Klaim bahwa pemerintah AS memasang bom di Menara Kembar dalam peristiwa 9/11.
  2. Teori tentang jaringan pedofil global yang melibatkan tokoh Hollywood dan politisi tertentu.
  3. Tuduhan bahwa pandemi COVID-19 adalah rekayasa elit global untuk menyuntikkan mikrocip ke populasi dunia.

Teori-teori ini, meskipun absurd, dipercaya oleh banyak orang. Kesaksian yang diperkuat oleh internet dan polarisasi politik semakin memperkuat keyakinan pada hal-hal yang tidak masuk akal ini.

Pendidikan sebagai Solusi

Jika Hume benar bahwa kecenderungan pada hal-hal ajaib adalah “bug” dalam pemrosesan mental kita, maka bagaimana cara mengatasinya? Hume menyarankan bahwa pendidikan dapat membantu. Dengan belajar untuk berpikir kritis, skeptis, dan menganalisis bukti secara logis, kita dapat mengontrol kecenderungan ini.

Namun, pendidikan saja tidak selalu cukup. Ada banyak orang yang terdidik tetapi tetap percaya pada teori konspirasi atau keyakinan supranatural. Bahkan, banyak pemimpin agama yang sangat terpelajar masih percaya pada mukjizat.

Tantangan di Era Modern

Kecenderungan ini, yang dulunya mungkin hanya berdampak kecil, kini memiliki konsekuensi yang serius. Misalnya, orang bersenjata yang menyerbu restoran pizza untuk menyelamatkan anak-anak yang tidak ada, atau penolakan vaksin yang memperpanjang pandemi global. Dengan internet, kepercayaan pada hal-hal absurd semakin mudah menyebar, menciptakan tantangan sosial dan politik yang signifikan.

David Hume menekankan bahwa kita tidak sepenuhnya menjadi budak dari kecenderungan untuk mempercayai hal-hal yang tidak masuk akal. Melalui refleksi yang tenang dan pendidikan yang tepat, kita dapat belajar untuk mengendalikan dorongan ini dan menggantinya dengan cara berpikir yang lebih rasional. Tantangan utama di era modern adalah bagaimana kita dapat mengedukasi masyarakat agar mampu berpikir secara kritis, tanpa memperkuat polarisasi atau menciptakan perpecahan lebih lanjut.

Namun, solusi ini tidak semudah yang dibayangkan. Fakta-fakta sering kali tidak cukup untuk membantah keyakinan pada teori konspirasi atau mukjizat, terutama ketika keyakinan tersebut didorong oleh faktor emosional dan sosial. Misalnya, teori konspirasi sering kali menawarkan narasi yang menarik, seperti adanya "musuh" besar yang harus dilawan atau janji akan solusi yang sederhana terhadap masalah kompleks. Hal ini mirip dengan fungsi agama dalam memberikan makna dan tujuan hidup bagi para penganutnya.

Jika hanya memaparkan fakta tidak cukup, pendekatan yang lebih efektif mungkin melibatkan dialog yang empatik dan pendekatan berbasis psikologi. Misalnya, alih-alih langsung menolak kepercayaan seseorang, mencoba memahami alasan di balik kepercayaan tersebut dapat membuka peluang untuk mendiskusikan sudut pandang yang lebih logis. Edukasi yang berbasis pada cara berpikir ilmiah, yang menekankan skeptisisme dan analisis kritis, juga dapat menjadi fondasi untuk melawan kecenderungan ini dalam jangka panjang.

Internet dan Peran Testimoni Modern

Salah satu aspek yang membuat kecenderungan manusia terhadap hal-hal ajaib semakin berbahaya di era modern adalah peran internet. Internet memungkinkan testimoni dan narasi yang mendukung teori-teori absurd untuk menyebar dengan sangat cepat, melintasi batas geografis dan budaya. Testimoni yang sebelumnya hanya disampaikan oleh beberapa individu kini diperkuat oleh ribuan suara dalam komunitas daring. Ketika seseorang bergabung dalam komunitas semacam ini, keyakinannya semakin diperkuat oleh rasa kebersamaan dan dukungan sosial yang ia dapatkan.

Selain itu, algoritma media sosial sering kali memperkuat keyakinan ini dengan menunjukkan konten yang sejalan dengan pandangan seseorang. Pola ini menciptakan echo chamber, di mana seseorang hanya terpapar pada informasi yang memperkuat keyakinannya, sementara pandangan yang berbeda dianggap salah atau bahkan berbahaya. Kondisi ini membuat upaya untuk melawan kecenderungan ini menjadi semakin sulit.

Dari Mukjizat ke Politik

Yang menarik dari analisis Hume adalah bagaimana kecenderungan manusia pada hal-hal ajaib tidak hanya terbatas pada kepercayaan religius atau supranatural. Di era modern, kita melihat pola yang sama terjadi dalam politik. Misalnya, teori konspirasi yang menyebutkan adanya jaringan global yang dikendalikan oleh kelompok elit tertentu sering kali mendapatkan pengikut yang luas. Narasi ini memberikan penjelasan yang sederhana untuk masalah dunia yang kompleks, sekaligus memberikan musuh bersama yang bisa dilawan.

Sebagai contoh, banyak teori konspirasi politik di abad ke-21 menciptakan narasi bahwa ada kekuatan tersembunyi yang mengendalikan dunia, baik itu melalui pandemi, perubahan iklim, atau isu global lainnya. Meskipun narasi-narasi ini sering kali bertentangan dengan fakta yang ada, daya tariknya tetap besar karena memberikan rasa kepastian dan tujuan di tengah ketidakpastian global.

Pelajaran dari Hume

Hume, melalui pemikirannya, memberikan wawasan mendalam tentang psikologi manusia yang relevan hingga hari ini. Kecenderungan untuk mempercayai hal-hal yang absurd dan mustahil adalah bagian dari sifat manusia yang telah ada selama berabad-abad. Namun, ini bukan berarti kita tidak bisa mengubahnya. Dengan refleksi yang hati-hati, dialog yang konstruktif, dan pendidikan yang berbasis pada logika dan skeptisisme, kita dapat mengurangi dampak negatif dari kecenderungan ini.

Kesimpulannya, tantangan terbesar yang kita hadapi bukanlah keberadaan kepercayaan yang tidak masuk akal, melainkan bagaimana kepercayaan ini diperkuat oleh teknologi modern seperti internet dan media sosial. Jika kita ingin menghadapi tantangan ini dengan serius, kita perlu memadukan pemahaman tentang psikologi manusia dengan strategi modern yang dapat membangun cara berpikir kritis dan skeptis di masyarakat.

Di tengah segala tantangan ini, pemikiran Hume tetap menjadi panduan yang berharga. Ia mengingatkan kita bahwa meskipun kecenderungan pada hal-hal ajaib adalah bagian dari sifat manusia, kita memiliki kapasitas untuk mengatasinya melalui pendidikan, refleksi, dan dialog. Seperti yang Hume katakan, kita tidak sepenuhnya menjadi budak dari kecenderungan ini. Dan dengan usaha yang tepat, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih rasional, kritis, dan terbuka terhadap fakta-fakta, bukan fantasi.

Referensi

  • Hume, David. An Enquiry Concerning Human Understanding. Oxford University Press, 2008.
  • Popkin, Richard H. The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle. Oxford University Press, 2003.
  • Shermer, Michael. Why People Believe Weird Things: Pseudoscience, Superstition, and Other Confusions of Our Time. Holt Paperbacks, 2002.
  • Dawkins, Richard. The God Delusion. Bantam Press, 2006.

About Us

Platform yang menawarkan artikel dengan pemikiran filosofis mendalam, koleksi ebook eksklusif dan legal, serta layanan penyelesaian tugas kuliah dan sekolah yang terpercaya.

comments

🌟 Attention, Valued Community Members! 🌟

We're delighted to have you engage in our vibrant discussions. To ensure a respectful and inclusive environment for everyone, we kindly request your cooperation with the following guidelines:

1. Respect Privacy: Please refrain from sharing sensitive or private information in your comments.

2. Spread Positivity: We uphold a zero-tolerance policy towards hate speech or abusive language. Let's keep our conversations respectful and friendly.

3. Language of Choice: Feel free to express yourself in either English or Hindi. These two languages will help us maintain clear and coherent discussions.

4. Respect Diversity: To foster an inclusive atmosphere, we kindly request that you avoid discussing religious matters in your comments.

Remember, your contributions are valued, and we appreciate your commitment to making our community a welcoming place for everyone. Let's continue to learn and grow together through constructive and respectful discussions.

Thank you for being a part of our vibrant community! 🌟
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.