Content Created with the help of AI |
Daftar Isi
Ketika konflik Gaza kembali memunculkan gelombang penderitaan, solidaritas internasional, khususnya dari Indonesia, semakin mencuat. Masyarakat Indonesia, yang pernah merasakan penjajahan, kembali menunjukkan dukungan mereka terhadap Palestina—tanpa melihat jarak geografis atau perbedaan politik.
Tetapi, pertanyaannya, apakah dukungan ini murni berasal dari rasa kemanusiaan, atau adakah dasar moral yang lebih dalam yang menggerakkan kita untuk peduli terhadap penderitaan orang lain, meskipun mereka jauh dari rumah kita?
Saya di sini mencoba mengajak kita untuk mengeksplorasi konsep solidaritas internasional melalui dua perspektif filosofis: filsafat moral Immanuel Kant yang menekankan kewajiban moral universal, dan etika keutamaan Aristoteles yang menggali nilai-nilai karakter dalam bertindak.
Dengan menganalisis solidaritas Indonesia terhadap Palestina, kita akan menilai apakah ini benar-benar mencerminkan kewajiban moral yang mendalam atau sekadar respons emosional terhadap penderitaan yang jauh dari kita.
Pandangan Immanuel Kant tentang Kewajiban Moral dan Solidaritas
Immanuel Kant, seorang filsuf abad ke-18, terkenal dengan gagasannya tentang imperatif kategoris, prinsip moral yang berlaku universal tanpa memperhatikan kondisi spesifik individu atau masyarakat. Dalam Groundwork for the Metaphysics of Morals, Kant mengemukakan bahwa tindakan moral harus berakar pada prinsip rasional yang dapat diterima secara universal.
Prinsip ini berarti bahwa jika kita memiliki kewajiban moral untuk membantu orang lain, kewajiban ini berlaku tanpa melihat batas-batas geografis atau keterikatan emosional.
Berdasarkan pemikiran Kant, solidaritas Indonesia terhadap Palestina bisa dilihat sebagai manifestasi dari kewajiban moral yang lebih besar. Kant akan berpendapat bahwa penderitaan di Gaza—seperti penderitaan di mana pun—harus memicu rasa kewajiban untuk bertindak, bukan karena kedekatan budaya atau agama, tetapi karena manusia adalah bagian dari satu komunitas moral yang universal.
Solidaritas ini tidak hanya menjadi sebuah tindakan emosional semata, melainkan bentuk dari penghormatan terhadap prinsip moral universal bahwa semua manusia memiliki hak yang sama atas kehidupan dan kebebasan dari penindasan.
Namun, Kant juga mengakui adanya keterbatasan dalam memenuhi kewajiban moral kita. Dalam konteks internasional, kapasitas Indonesia yang terbatas untuk bertindak secara efektif dalam konflik di Gaza telah disoroti oleh beberapa pengamat.
Menurut Siti Muti’ah Setiawati dari Universitas Gadjah Mada, kontribusi Indonesia dinilai sudah proporsional mengingat keterbatasan ini . Jika Kantian melihat hal ini, mungkin ia akan berargumen bahwa tindakan yang dilakukan—termasuk dukungan simbolis seperti walkout diplomatik yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi—merupakan bentuk pemenuhan kewajiban moral sejauh yang memungkinkan dalam kapasitas Indonesia saat ini .
Namun, meskipun tindakan simbolis seperti walkout dan pidato keras di forum internasional adalah penting, tindakan tersebut dapat dilihat sebagai langkah awal dalam memenuhi kewajiban moral, bukan sebagai tujuan akhir. Dalam perspektif Kantian, tindakan yang lebih konkret, seperti bantuan kemanusiaan langsung, memiliki nilai yang lebih tinggi dalam mewujudkan solidaritas sebagai prinsip moral yang universal.
Dalam hal ini, aksi nyata seperti pengiriman bantuan medis dan logistik ke Gaza adalah langkah yang lebih substansial dalam memenuhi kewajiban moral tersebut.
Solidaritas sebagai Keutamaan dalam Etika Aristotelian
Berbeda dengan Kant, Aristoteles tidak menekankan pada aturan moral universal. Sebaliknya, ia mengembangkan etika keutamaan yang menekankan pengembangan karakter moral individu melalui praktik kebiasaan.
Bagi Aristoteles, tindakan solidaritas yang nyata terhadap penderitaan di luar negeri merupakan bagian dari pengembangan keutamaan, seperti kedermawanan (generosity) dan kepedulian sosial (social care), yang menjadi ciri individu dengan karakter baik.
Dalam etika Aristotelian, tindakan solidaritas Indonesia terhadap Palestina dapat dipandang sebagai upaya untuk mencapai keutamaan moral yang lebih tinggi. Solidaritas ini menunjukkan bahwa individu maupun masyarakat Indonesia mengembangkan keutamaan dengan merespons penderitaan yang jauh dari lingkungan mereka sendiri.
Aristoteles mungkin akan menyarankan bahwa keterlibatan dalam isu kemanusiaan internasional adalah bentuk pengembangan karakter individu dan kolektif yang berfokus pada memperluas empati dan kepedulian.
Sebagai contoh, dukungan Indonesia terhadap Palestina yang mencakup bantuan medis di Gaza dan Rafah tidak hanya menunjukkan tindakan moral yang dipengaruhi oleh situasi, tetapi juga proses menuju pengembangan karakter keutamaan kolektif .
Aristoteles berpendapat bahwa tindakan yang konsisten untuk membantu orang lain membangun karakter yang baik, yang pada akhirnya membawa pada kebahagiaan tertinggi atau eudaimonia, keadaan di mana individu dan masyarakat mencapai tujuan hidupnya.
Selain itu, dalam kerangka Aristotelian, peran solidaritas tidak hanya terbatas pada tindakan individu, tetapi juga melibatkan peran institusi dan negara. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia berperan sebagai agen moral yang memfasilitasi tindakan solidaritas masyarakat.
Tindakan seperti menggalang dana, mengirim bantuan kemanusiaan, dan melibatkan diri dalam forum internasional menunjukkan bahwa negara juga dapat menjadi sarana untuk mengembangkan keutamaan kolektif dalam masyarakat.
Respons Emosional atau Manifestasi Keutamaan?
Namun, muncul pertanyaan: apakah solidaritas ini benar-benar merupakan manifestasi dari keutamaan atau hanya sekadar respons emosional terhadap penderitaan yang disaksikan dari jauh?
Kritik terhadap aksi-aksi simbolis sering kali menyoroti bahwa dukungan semacam ini cenderung temporer dan emosional, lebih sebagai respons spontan daripada komitmen jangka panjang yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang konsisten.
Di satu sisi, mungkin ada dasar emosional dalam dukungan publik Indonesia terhadap Palestina. Bagaimanapun, manusia cenderung lebih mudah merespons secara emosional terhadap penderitaan yang tampak jelas atau berhubungan dengan nilai-nilai budaya atau agama yang mereka anut.
Aristoteles mengakui peran emosi dalam membangun karakter moral. Emosi yang diarahkan dengan benar dapat membantu seseorang mengembangkan keutamaan. Dalam kasus ini, empati yang dirasakan terhadap Palestina mungkin membantu memperkuat kebiasaan untuk menolong, membangun karakter yang lebih dermawan dan penuh kasih.
Namun, ada pula bahaya jika solidaritas ini hanya bersifat sementara dan dangkal. Respons emosional yang kuat tetapi tidak konsisten dapat mengaburkan kewajiban moral yang sebenarnya atau menggantikan aksi nyata yang lebih signifikan.
Misalnya, Broto Wardoyo dari Universitas Indonesia mencatat bahwa meskipun Indonesia vokal mendukung Palestina di forum internasional, ada keterbatasan dalam langkah-langkah pragmatis yang bisa diambil karena hubungan diplomatik yang minim dengan Israel .
Dari perspektif Aristotelian, tindakan seperti ini bisa dilihat sebagai keutamaan yang belum sepenuhnya terwujud, karena masih membutuhkan tindakan yang lebih nyata dan konsisten.
Implikasi bagi Kebijakan Luar Negeri dan Masyarakat Indonesia
Di luar perdebatan filosofis tentang kewajiban moral dan keutamaan, solidaritas Indonesia terhadap Palestina memiliki implikasi penting bagi kebijakan luar negeri Indonesia dan karakter masyarakatnya.
Respons yang diambil pemerintah Indonesia, seperti aksi walkout dan dukungan pada proses pemulihan Gaza, menunjukkan komitmen moral terhadap prinsip anti-penindasan dan kemerdekaan yang dipegang teguh oleh Indonesia sebagai bangsa.
Dalam konteks ini, tindakan yang diambil oleh pemerintah tidak hanya mencerminkan respons publik yang emosional, tetapi juga usaha untuk memperkuat posisi Indonesia dalam tatanan internasional.
Selain itu, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto dapat memanfaatkan solidaritas yang kuat ini untuk memainkan peran yang lebih besar di kancah internasional, seperti meningkatkan bantuan kemanusiaan atau menfasilitasi mediasi faksi-faksi Palestina.
Broto Wardoyo menilai bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk memainkan peran dalam proses rekonstruksi Gaza, yang dapat menjadi langkah konkret dalam mewujudkan keutamaan keadilan yang lebih tinggi.
Lebih dari itu, keterlibatan Indonesia dalam isu internasional seperti konflik Gaza juga berkontribusi pada pembentukan identitas nasional sebagai bangsa yang peduli terhadap keadilan dan kemanusiaan global.
Hal tersebut menunjukkan bahwa solidaritas bukan hanya respons terhadap situasi tertentu, tetapi bagian dari nilai dan prinsip yang tertanam dalam budaya dan politik Indonesia.
Kesimpulan
Solidaritas terhadap penderitaan yang dialami oleh korban konflik di Gaza, dalam pandangan Kantian, adalah bentuk kewajiban moral universal yang seharusnya dimiliki oleh semua orang tanpa memandang batas-batas negara.
Dari perspektif Aristotelian, solidaritas ini merupakan manifestasi dari keutamaan yang berkembang dalam karakter masyarakat Indonesia, meskipun kadang dipicu oleh respons emosional.
Namun, agar solidaritas ini menjadi keutamaan yang sepenuhnya berkembang, perlu adanya komitmen yang lebih besar dari sekadar aksi simbolis atau respons emosional sesaat.
Dengan melibatkan diri dalam upaya yang lebih konkret seperti peningkatan bantuan kemanusiaan atau bahkan mengambil peran dalam mediasi konflik, Indonesia bisa menunjukkan bahwa solidaritas mereka terhadap Palestina benar-benar adalah bagian dari komitmen moral dan keutamaan yang telah berkembang dalam karakter bangsa.
Referensi
- Kompas.com. "Dukung Kemerdekaan Palestina, Prabowo Janji Kirim Bantuan Lebih Banyak." https://nasional.kompas.com/read/2024/10/20/12213691/dukung-kemerdekaan-palestina-prabowo-janji-kirim-bantuan-lebih-banyak
- VOA Indonesia. "Apakah Peran Indonesia Sudah Efektif Membantu Menuntaskan Konflik di Gaza?" https://www.voaindonesia.com/a/apakah-peran-indonesia-sudah-efektif-membantu-menuntaskan-konflik-di-gaza-/7812897.html.
- Kant, Immanuel. Groundwork for the Metaphysics of Morals. Cambridge University Press, 1997.
- Aristoteles. Nicomachean Ethics. Terjemahan oleh Terence Irwin. Hackett Publishing Company, 1999.
- PBB (United Nations). "Laporan Kehancuran Gaza: Situasi Ekonomi dan Sosial." UNCTAD Report, September 2024.