Content Created with the help of AI |
Daftar Isi
Apakah kebebasan selalu menjadi anugerah? Atau justru dapat menjadi sumber kecemasan yang tak terelakkan? Ketika kita membayangkan kebebasan, mungkin yang muncul adalah gambaran tentang lepasnya kendali atau terbukanya pilihan tanpa batas. Namun, dalam filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre, kebebasan bukan hanya tentang hak memilih, tetapi juga tentang beban tanggung jawab atas segala pilihan yang kita buat.
Saya di sini akan membahas mengapa kebebasan, dalam pandangan Sartre, justru bisa menjadi salah satu tantangan terberat yang harus dihadapi manusia. Mengapa manusia disebut “dikutuk untuk bebas,” dan apa artinya bagi kita yang hidup di era modern?
Biografi Sartre
Jean-Paul Sartre (1905–1980) adalah filsuf Prancis yang dikenal sebagai tokoh utama dalam aliran eksistensialisme dan pemikiran Marxis. Terlahir di Paris, Sartre menunjukkan minat yang mendalam pada filsafat sejak muda, terutama setelah belajar di École Normale Supérieure. Di sanalah ia bertemu Simone de Beauvoir, seorang filsuf dan feminis yang menjadi rekan hidup dan intelektualnya.
Sartre pertama kali dikenal publik melalui esainya Existentialism is a Humanism (1946), di mana ia mengemukakan ide utama dari eksistensialisme: bahwa manusia “dikutuk untuk bebas”. Menurutnya, manusia lahir tanpa tujuan yang telah ditentukan dan bertanggung jawab penuh atas penciptaan esensi atau makna hidupnya.
Pemikiran tersebut dikembangkan lebih jauh dalam karya magnum opus-nya, Being and Nothingness (1943), di mana ia mengeksplorasi konsep kebebasan, kesadaran, dan angoisse atau kecemasan eksistensial.
Selain sebagai filsuf, Sartre adalah penulis, dramawan, dan aktivis politik yang vokal menentang ketidakadilan sosial. Ia mendukung gerakan dekolonisasi dan secara aktif menentang perang Aljazair, Vietnam, dan keterlibatan Prancis dalam kolonialisme.
Sartre juga dikenal karena hubungannya yang rumit dengan Marxisme, dan pada akhirnya mencoba menyatukan filsafat eksistensialisme dengan sosialisme melalui apa yang disebut “eksistensialisme humanis.”
Pada tahun 1964, Sartre menolak Penghargaan Nobel dalam Sastra sebagai bentuk protes terhadap pengakuan institusional, yang menurutnya akan menghalangi kebebasan kreatifnya. Ia meninggal pada tahun 1980, meninggalkan warisan pemikiran yang mendalam tentang kebebasan, tanggung jawab, dan hubungan manusia dengan dunia.
Sartre menginspirasi generasi berikutnya untuk mempertanyakan norma-norma sosial dan politik dan menghadapi tanggung jawab atas pilihan-pilihan hidup mereka dengan penuh kesadaran.
Kebebasan Sebagai Inti Eksistensialisme Sartre
Jean-Paul Sartre adalah salah satu filsuf terbesar abad ke-20, terkenal karena pandangannya yang revolusioner tentang kebebasan dan tanggung jawab. Dalam eksistensialisme Sartre, manusia tidak dilahirkan dengan esensi atau tujuan yang telah ditentukan.
“Manusia,” menurut Sartre, “dikutuk untuk bebas.” Pernyataan ini menegaskan bahwa kebebasan bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan yang melekat dalam eksistensi kita. Kita harus membuat pilihan sendiri, tanpa ada panduan atau hakikat yang mendikte apa yang benar atau salah.
Sartre mempertanyakan: Mengapa kebebasan yang kita idamkan justru bisa menjadi sumber kecemasan? Pada dasarnya, karena kebebasan yang tak terbatas datang bersama tanggung jawab yang besar, yaitu bahwa setiap keputusan yang kita buat mencerminkan kita sepenuhnya, tanpa alasan atau pembenaran dari luar. Ini berarti kita tidak dapat melepaskan diri dari konsekuensi pilihan-pilihan kita.
Konsep Kebebasan dalam Eksistensialisme
Menurut Sartre, kebebasan adalah kondisi inheren dari eksistensi manusia. Eksistensi mendahului esensi, yang berarti bahwa manusia pertama-tama ada, dan baru kemudian menentukan makna hidupnya.
Tidak ada esensi yang melekat yang bisa membimbing kita, sehingga setiap orang harus menentukan sendiri siapa dirinya melalui pilihan-pilihan yang dibuat.
Sartre menegaskan bahwa kebebasan ini, meskipun memberdayakan, sering kali juga membingungkan. Kebebasan tidak memberikan arahan otomatis; sebaliknya, kebebasan memaksa kita untuk menciptakan makna hidup kita sendiri.
Artinya, kita bertanggung jawab untuk mengarahkan hidup kita tanpa bisa sepenuhnya mengandalkan prinsip-prinsip moral eksternal atau masyarakat. Kebebasan ini, dengan segala tantangan dan kebingungannya, membentuk landasan eksistensialisme Sartre.
Mengapa Kebebasan Menjadi Beban?
Namun, kebebasan itu bukan tanpa harga. Sartre menjelaskan bahwa kebebasan dapat menimbulkan angoisse atau kecemasan eksistensial. Angoisse adalah perasaan cemas yang muncul dari kesadaran bahwa kita benar-benar bebas, sehingga kita sepenuhnya bertanggung jawab atas pilihan-pilihan kita.
Tanpa adanya panduan objektif, manusia harus menghadapi konsekuensi dari setiap keputusan secara pribadi, yang menciptakan rasa takut dan beban.
Karena tidak ada sistem moral atau religius yang bisa menentukan benar atau salahnya pilihan, setiap keputusan yang kita ambil mencerminkan kita sepenuhnya. Beban tanggung jawab ini membuat kebebasan menjadi sesuatu yang menakutkan bagi sebagian orang, karena kita selalu berada di ambang kemungkinan membuat kesalahan yang hanya bisa kita tanggung sendiri.
Kebebasan dalam Konteks Kehidupan Sehari-hari
Bagaimana konsep kebebasan ini terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari? Pertimbangkan keputusan besar dalam hidup, seperti memilih karier, pasangan hidup, atau pandangan moral. Masing-masing keputusan ini adalah manifestasi dari kebebasan kita, tetapi setiap pilihan mengandung risiko yang harus kita hadapi sendiri.
Misalnya, dalam memilih karier, seseorang mungkin dihadapkan pada pilihan antara pekerjaan yang stabil dengan gaji tinggi atau pekerjaan yang sesuai dengan minat namun berisiko. Kebebasan memilih ini menjadi beban ketika kita menyadari bahwa keputusan tersebut tidak hanya mempengaruhi kita sekarang, tetapi juga membentuk arah hidup kita.
Sama halnya dalam memilih pasangan hidup; kebebasan ini dapat menjadi sumber kecemasan, karena kita bertanggung jawab penuh atas hasil dari keputusan tersebut.
Orang Lain sebagai Neraka (L'enfer, c'est les autres)
Dalam drama Huis Clos, Sartre terkenal dengan pernyataannya bahwa “L'enfer, c'est les autres” atau “neraka adalah orang lain.” Pernyataan ini menggambarkan bagaimana hubungan dengan orang lain sering kali menjadi sumber keterasingan.
Ketika kita bertemu dengan orang lain, kita dinilai dan dinilai oleh pandangan mereka, sehingga kebebasan kita terbatasi.
Sartre menguraikan bahwa meskipun kita memiliki kebebasan absolut, keberadaan orang lain memperumit kebebasan ini. Kita sering kali tergoda untuk hidup sesuai ekspektasi orang lain, bukan dari keinginan bebas kita sendiri.
Dengan demikian, hubungan dengan orang lain menimbulkan kontradiksi dalam kebebasan kita, karena keinginan kita untuk hidup autentik sering kali bertabrakan dengan kebutuhan akan penerimaan sosial.
Relevansi Pemikiran Sartre tentang Kebebasan di Era Modern
Gagasan Sartre tentang kebebasan dan kecemasan eksistensial tetap relevan hingga hari ini. Dalam dunia modern yang sarat dengan tekanan sosial dan media, kebebasan memilih gaya hidup sering kali disertai ekspektasi yang menciptakan kecemasan.
Misalnya, tekanan untuk menampilkan diri secara ideal di media sosial dapat menciptakan beban mental, karena setiap pilihan yang kita buat—baik dalam karier, pandangan politik, maupun gaya hidup—selalu dievaluasi oleh lingkungan sosial.
Tuntutan untuk “menjadi diri sendiri” di era digital sering kali menjadi kontraproduktif, karena alih-alih merasa bebas, kita justru terjebak dalam tekanan sosial yang semakin kuat.
Sartre mengajarkan bahwa meskipun kebebasan adalah hak kita, terkadang kebebasan ini dapat menjadi tantangan yang membebani, terutama dalam menghadapi ekspektasi yang sulit diabaikan.
Apakah Kebebasan Selalu Menjadi Beban?
Apakah kebebasan memang selalu menjadi beban? Atau dapatkah kebebasan ini menjadi sumber kebahagiaan dan makna hidup? Sartre tidak menawarkan jawaban yang mudah, tetapi ia mengajak kita untuk mempertimbangkan bagaimana kita menjalani hidup ini. Kebebasan, dalam pengertian Sartre, mungkin adalah tantangan yang besar, tetapi juga merupakan kesempatan untuk menemukan diri kita yang sejati.
Pada akhirnya, kebebasan adalah apa yang kita buat darinya. Jika kita mampu menerima tanggung jawab atas pilihan kita dengan penuh kesadaran, kebebasan bukan lagi beban, melainkan sarana untuk menciptakan kehidupan yang autentik dan bermakna.
Sartre menawarkan kita pandangan bahwa hanya dengan menerima kebebasan kita sepenuhnya, kita bisa menemukan kebahagiaan yang tidak tergantung pada standar atau ekspektasi luar.
Referensi
- Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness. Translated by Hazel E. Barnes, Routledge, 1956.
- Flynn, Thomas. Sartre and Marxist Existentialism: The Test Case of Collective Responsibility. University of Chicago Press, 1984.
- Barnes, Hazel E. Humanistic Existentialism: The Literature of Possibility. University of Nebraska Press, 1959.
- Daigle, Christine. Existentialist Thinkers and Ethics. McGill-Queen’s University Press, 2006.