Dominasi Militer dalam Politik Orde Baru
Dominasi militer dalam politik Orde Baru di Indonesia membentuk stabilitas hingga akhirnya digantikan oleh reformasi demokrasi di era pasca-Soeharto.
Pasca peristiwa G30S 1965, Indonesia memasuki fase kritis yang mengubah tatanan politiknya. Soeharto, dengan dukungan penuh dari militer, memimpin langkah besar untuk mengamankan kekuasaan dan menjadikan stabilitas negara sebagai agenda utamanya. Dalam konteks ini, militer tidak lagi berperan hanya sebagai penjaga keamanan, tetapi juga sebagai kekuatan sosial-politik melalui konsep Dwifungsi ABRI, gagasan yang menempatkan militer di pusat kehidupan politik Indonesia. Artikel ini akan mendalami bagaimana Dwifungsi ABRI diimplementasikan di masa Orde Baru, pengaruhnya pada demokrasi dan kebebasan sipil, serta perubahan pasca-reformasi.
Dasar Filosofis Dwifungsi ABRI
Konsep Dwifungsi ABRI, yang diperkenalkan oleh Jenderal AH Nasution, menggarisbawahi dua fungsi utama militer: pertama, sebagai penjaga keamanan dan pertahanan; dan kedua, sebagai kekuatan sosial-politik. Dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia, Harold Crouch menjelaskan bahwa doktrin ini memberi militer legitimasi untuk terlibat dalam berbagai aspek kehidupan negara, termasuk politik dan sosial. Dwifungsi ABRI dianggap sebagai solusi untuk menjaga stabilitas politik di tengah masyarakat yang terpolarisasi (Crouch, 2007).
Militer memandang dirinya sebagai penjaga negara yang bertanggung jawab bukan hanya dalam konteks militer, tetapi juga sebagai pelindung ideologi dan stabilitas nasional. Hal ini berujung pada pembentukan state apparatus yang sarat dengan militerisme, di mana militer mengambil kendali penuh dalam urusan sipil. David Kingsbury, dalam Power Politics and the Indonesian Military, menyebutkan bahwa Dwifungsi ABRI menjadi landasan yang memungkinkan militer mengamankan kekuasaan dengan cara mengeliminasi oposisi politik (Kingsbury, 2003).
Manifestasi Dominasi Militer
Selama Orde Baru, militer mengambil peran strategis di hampir setiap bidang pemerintahan. Di parlemen, ABRI memiliki kursi tetap melalui Fraksi ABRI, yang memungkinkan mereka turut dalam pembuatan undang-undang dan memastikan bahwa kebijakan negara tetap sejalan dengan kepentingan militer (Ricklefs, 2001). Di tingkat daerah, militer juga mendominasi dengan menduduki jabatan kepala daerah seperti gubernur dan bupati. Alih-alih dipilih secara demokratis, perwira militer ditempatkan di berbagai wilayah sebagai pemegang otoritas utama.
Schwarz (2000) dalam A Nation in Waiting mencatat bahwa dominasi militer di parlemen dan pemerintahan daerah memperkuat cengkeraman kekuasaan militer atas masyarakat. Dominasi ini menciptakan lingkungan yang militeristik di mana kebebasan sipil ditekan, dan setiap bentuk oposisi dicap sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional. Schwarz juga menambahkan bahwa media massa, organisasi masyarakat, bahkan kampus, menjadi sasaran pengaruh militer untuk memastikan kontrol penuh terhadap masyarakat.
Dampak Dominasi Militer terhadap Kebebasan Sipil dan Demokrasi
Keberadaan militer dalam politik Indonesia tidak hanya menghambat perkembangan demokrasi, tetapi juga menciptakan ketakutan di kalangan rakyat. Kehadiran militer di setiap lini membuat masyarakat hidup dalam suasana represif, di mana hak untuk berpendapat, berserikat, dan berkumpul menjadi sangat terbatas. Eric Aspinall dalam bukunya Problems of Democratisation in Indonesia menegaskan bahwa dominasi militer di Indonesia membangun sistem yang otoriter dan menghambat partisipasi politik rakyat (Aspinall, 2010).
Salah satu dampak yang signifikan dari dominasi militer adalah banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama era Orde Baru. Praktik penangkapan, penyiksaan, dan penghilangan paksa terhadap aktivis politik menjadi contoh nyata dari kekerasan struktural yang dilanggengkan oleh aparat keamanan. Usman (2021) dalam Pengaruh Dwifungsi ABRI terhadap Struktur Politik di Indonesia menjelaskan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM ini meninggalkan luka yang mendalam di masyarakat dan berdampak panjang bagi perkembangan demokrasi pasca-Orde Baru.
Akhir dari Dwifungsi ABRI dan Upaya Reformasi
Krisis ekonomi pada tahun 1997 dan meningkatnya protes publik yang meluas memicu tuntutan reformasi besar-besaran di Indonesia. Gerakan reformasi ini menuntut penghapusan Dwifungsi ABRI dan kembalinya militer pada fungsi utama mereka, yaitu pertahanan dan keamanan. Schwarz (2000) mengungkapkan bahwa reformasi ini adalah salah satu tuntutan terkuat dari rakyat yang menginginkan perubahan dalam sistem pemerintahan yang demokratis dan bebas dari dominasi militer.
Pasca-1998, reformasi sektor keamanan dilakukan, termasuk pemisahan TNI dan Polri, penghapusan kursi Fraksi ABRI di parlemen, dan upaya memperkuat supremasi sipil. Proses ini, menurut Crouch (2007), bertujuan untuk membangun profesionalisme militer yang sesuai dengan sistem demokrasi. Meski reformasi ini telah membawa kemajuan, tantangan masih ada, terutama dalam memastikan bahwa militer tetap berada di bawah kendali otoritas sipil dan tidak terlibat dalam politik.
Kesimpulan
Dominasi militer dalam politik Orde Baru meninggalkan dampak signifikan yang mempengaruhi kehidupan sosial dan politik di Indonesia. Keberadaan militer dalam pemerintahan membatasi kebebasan sipil, menekan perkembangan demokrasi, dan meninggalkan catatan hitam dalam sejarah hak asasi manusia di Indonesia. Reformasi yang dilakukan pasca-1998 merupakan langkah besar dalam mengembalikan supremasi sipil dan memperkuat demokrasi. Dengan mempelajari sejarah ini, kita dapat menghindari pengulangan dominasi militer dalam politik dan menjaga agar demokrasi Indonesia tetap sehat dan dinamis.
Satu pertanyaan dari saya, "apakah ini akan terjadi lagi di Indonesia?"
Referensi
- Crouch, H. (2007). The Army and Politics in Indonesia. Cornell University Press.
- Kingsbury, D. (2003). Power Politics and the Indonesian Military. Routledge.
- Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Stanford University Press.
- Schwarz, A. (2000). A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability. Westview Press.
- Aspinall, E. (2010). Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Institute of Southeast Asian Studies.
- Usman, M. (2021). “Pengaruh Dwifungsi ABRI terhadap Struktur Politik di Indonesia,” dalam Jurnal Sejarah Indonesia, Vol. 10, No. 1.