Manusia Satu Dimensi: Kritik Marcuse terhadap Konsumerisme dan Teknologi

Herbert Marcuse mengungkap bagaimana konsumerisme dan teknologi membentuk manusia satu dimensi. Temukan cara menemukan kebebasan sejati.

Ketika kita berbicara tentang kebebasan, banyak dari kita mungkin merasa sudah benar-benar bebas. Kita bisa memilih ponsel yang kita inginkan, memutuskan film apa yang akan ditonton, atau menentukan merek kopi favorit. Tapi, apakah kebebasan seperti ini benar-benar sejati? Atau, jangan-jangan ini hanyalah ilusi kebebasan yang dirancang untuk membuat kita tetap patuh pada sistem?

Herbert Marcuse, seorang filsuf dari Mazhab Frankfurt, menyoroti fenomena ini dalam bukunya One-Dimensional Man (1964). Ia menyebut masyarakat modern telah terjebak dalam apa yang disebut sebagai "manusia satu dimensi". Menurutnya, manusia di era modern ini telah kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan membayangkan alternatif dari sistem yang ada. Kita dikendalikan oleh konsumerisme dan teknologi, sehingga akhirnya kita menjalani hidup sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pasar, bukan atas kehendak sejati kita sendiri.

Budaya Konsumerisme: Mengapa Kita Terus Membeli?

Pernahkah Anda membeli sesuatu yang sebenarnya tidak Anda butuhkan? Misalnya, sepasang sepatu baru padahal lemari sudah penuh, atau ponsel terbaru meskipun yang lama masih berfungsi dengan baik.

Marcuse menyebut itu sebagai "kebutuhan palsu", yaitu kesadaran di mana Kita merasa butuh, tapi sebenarnya itu hanya keinginan yang diciptakan oleh pasar. Iklan dan tren membuat kita percaya bahwa tanpa barang-barang tersebut, kita tidak cukup. Sistem inilah yang menciptakan rasa kekurangan palsu agar kita terus membeli.

Lihat saja Black Friday atau flash sale. Kita berlomba-lomba membeli barang dengan dalih “kesempatan langka.” Namun, setelah itu, apakah kita benar-benar merasa lebih puas? Atau justru kembali mencari "kebahagiaan" lain melalui pembelian berikutnya? Selagi kita masih tidak sadarkan diri akan siklus ini, maka kita akan kembali berkutat pada peristiwa itu-itu saja.

Teknologi: Antara Pembebasan dan Pengendalian

Teknologi sering dianggap sebagai simbol kemajuan. Dengan teknologi, kita bisa bekerja lebih cepat, terhubung lebih mudah, dan menikmati hiburan tanpa batas. Namun, Marcuse memperingatkan bahwa teknologi juga memiliki sisi gelap.

Ia menjelaskan bahwa teknologi sering digunakan oleh sistem untuk memperkuat status quo. Bukannya membebaskan manusia, teknologi justru sering berperan sebagai alat dominasi. Salah satu contohnya adalah algoritma media sosial. Platform seperti Facebook, Instagram, atau TikTok dirancang untuk menarik perhatian kita selama mungkin. Kita diberikan konten yang sesuai dengan preferensi kita, sehingga tanpa sadar kita hanya melihat dunia dari satu sudut pandang.

Media sosial memang menawarkan kemudahan, namun di balik itu tersimpan potensi jebakan yang sulit dihindari. Tanpa sadar, kita bisa terlena berlama-lama menjelajahi konten yang tak selalu bermanfaat. Platform digital memang cerdik merancang sistem yang membuat pengguna betah berselancar, mengumpulkan data demi kepentingan pemasaran. Meskipun teknologi memudahkan hidup, kita perlu bijak dan kritis, agar pola pikir dan perilaku tidak terbentuk oleh algoritma yang berorientasi pada konsumsi.

Marcuse menyebut kondisi itu sebagai "penindasan tanpa paksaan", yaitu ketika kita tidak merasa sedang dikendalikan karena sistem ini begitu halus dan menyenangkan. Padahal, kenyataannya, kita semakin jauh dari kebebasan sejati.

Budaya Populer: Mengapa Semua Terlihat Sama?

Pernahkah Anda merasa bahwa hampir semua hal di sekitar kita tampak seragam? Dari film blockbuster, lagu-lagu di radio, hingga tren fashion—semuanya tampak dirancang untuk mengikuti pola yang sama. Ini adalah bagian dari kritik Marcuse terhadap homogenitas budaya di masyarakat modern.

Marcuse berpendapat bahwa budaya populer, alih-alih membebaskan, justru dapat menjadi alat untuk mengendalikan masyarakat. Hiburan yang kita nikmati, seperti film atau musik, seringkali memberikan ilusi kebebasan, padahal sebenarnya membatasi kemampuan kita untuk berpikir kritis. Ambil contoh film-film Hollywood yang cenderung mengikuti pola yang sama: pahlawan melawan penjahat, berakhir dengan kemenangan yang mudah, dan menyampaikan pesan moral yang simplistis. Meskipun menghibur, film-film semacam ini jarang merangsang penonton untuk merenungkan realitas sosial yang lebih kompleks.

Budaya populer memperkuat stereotip tertentu, terutama dalam gaya hidup. Iklan selalu menampilkan gambaran ideal tentang kebahagiaan—rumah besar, mobil mewah, dan liburan eksotis. Kita diajak untuk percaya bahwa inilah tujuan hidup yang sesungguhnya. Padahal, kebahagiaan sejati mungkin tidak memerlukan semua itu.

Manusia Satu Dimensi: Kehilangan Kemampuan untuk Bermimpi

Marcuse melihat manusia modern sebagai sosok yang, secara perlahan, kehilangan daya untuk bermimpi tentang dunia yang berbeda. Kita hidup dalam masyarakat yang membentuk cara berpikir kita, sehingga realitas yang ada terasa seperti satu-satunya pilihan. Kemampuan untuk mempertanyakan sistem atau mencari alternatif seakan terpinggirkan oleh kenyamanan dan rutinitas.

Contohnya bisa kita lihat dalam isu lingkungan. Hampir semua orang tahu bahwa gaya hidup konsumtif memberi dampak besar terhadap kerusakan bumi. Namun, solusi yang sering ditawarkan masih berkutat pada penyesuaian kecil dalam sistem yang sama. Beralih ke mobil listrik atau menggandakan daur ulang plastik adalah langkah penting, tetapi apakah itu benar-benar cukup?

Marcuse mungkin akan berkata bahwa langkah-langkah ini masih berakar pada paradigma kapitalisme, di mana konsumsi tetap menjadi pusat perhatian. Solusi seperti ini, meski terlihat progresif, tidak menyentuh akar masalah: gaya hidup yang terus-menerus mengutamakan produksi dan konsumsi. Untuk benar-benar mengatasi krisis, kita perlu lebih berani membayangkan cara hidup yang sepenuhnya baru—cara yang melampaui pola kapitalisme yang ada.

Relevansi Kritik Marcuse di Era Digital

Meskipun One-Dimensional Man ditulis lebih dari setengah abad lalu, banyak gagasan Marcuse yang terasa sangat relevan di era digital. Dunia modern kini diwarnai oleh kehadiran teknologi yang tidak hanya memengaruhi cara kita hidup, tetapi juga membentuk pola pikir dan perilaku kita.

Media sosial, misalnya, adalah salah satu contoh paling nyata. Algoritma di balik platform-platform ini dirancang untuk memaksimalkan waktu yang kita habiskan di layar, sering kali dengan menunjukkan konten yang sesuai dengan preferensi kita. Sekilas, ini tampak seperti hal yang baik—kenyamanan yang memudahkan kita menemukan apa yang kita sukai. Namun, ada bahaya tersembunyi di balik kenyamanan ini.

Algoritma yang digunakan oleh media sosial menciptakan apa yang sering disebut sebagai filter bubble. Dalam kondisi ini, kita cenderung hanya melihat konten yang sesuai dengan pandangan kita sendiri. Ide-ide yang berbeda, yang mungkin bisa memperkaya cara pandang kita, semakin jarang muncul. Akibatnya, kita semakin terisolasi dalam pola pikir yang seragam, sulit untuk memunculkan kritik atau imajinasi alternatif. Marcuse menganggap homogenitas semacam ini sebagai salah satu ciri manusia satu dimensi—keadaan di mana kemampuan berpikir kritis terkikis oleh kenyamanan dan pola yang sudah ditetapkan.

Realitas ini tidak hanya terjadi di media sosial, tetapi juga merembes ke dalam budaya konsumsi digital yang lebih luas. Contohnya, fenomena seperti Black Friday atau diskon besar-besaran lainnya. Apa yang sebenarnya kita rasakan ketika melihat label “penawaran terbatas” atau “promo eksklusif”? Ada desakan tak terlihat yang seakan memaksa kita bertindak cepat—seolah-olah melewatkan kesempatan ini akan menjadi kerugian besar. Namun, saat barang yang kita beli sudah tiba, kebahagiaan yang dijanjikan sering kali memudar seiring berjalannya waktu. Yang tersisa hanyalah dorongan baru untuk membeli lebih banyak lagi. Siklus ini terasa seperti lingkaran tanpa akhir, sebuah jebakan yang dirancang dengan cerdik.

Marcuse mengundang kita untuk berpikir ulang: Apakah keinginan kita benar-benar milik kita? Banyak kebutuhan yang kita anggap mendesak sesungguhnya bukan kebutuhan sejati, melainkan ilusi yang diciptakan oleh mekanisme pasar. Langkah pertama untuk membebaskan diri dari jebakan ini adalah menyadari bahwa apa yang kita rasakan tidak selalu otentik. Refleksi menjadi alat yang sangat penting dalam perjalanan ini.

Bayangkan momen ketika Anda merasa terdorong untuk membeli sesuatu. Sebelum menekan tombol "beli sekarang," tanyakan pada diri sendiri: Apakah saya benar-benar memerlukan ini? Ataukah ini hanya keinginan sesaat yang dipicu oleh promosi atau iklan? Pertanyaan ini mungkin tampak sederhana, tetapi dalam praktiknya, ia seperti cermin yang memantulkan kembali realitas di balik tindakan kita. Dengan membiasakan diri untuk bertanya, kita bisa mulai memisahkan antara kebutuhan nyata dan dorongan artifisial.

Namun, refleksi saja tidak cukup. Di tengah lautan informasi yang begitu melimpah, kemampuan berpikir kritis menjadi tameng yang tak tergantikan. Informasi yang kita serap melalui berbagai media sering kali dikemas untuk memengaruhi emosi, keputusan, bahkan keyakinan kita. Membiasakan diri membaca dari sumber yang beragam, berdiskusi dengan orang yang memiliki pandangan berbeda, atau sekadar merenungkan apa yang kita yakini, dapat membuka perspektif baru. Kita perlu keluar dari gelembung homogenitas yang membatasi cara kita memahami dunia.

Lebih dari itu, teknologi tidak selalu menjadi musuh. Ia adalah alat—dan seperti alat lainnya, dampaknya tergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Daripada hanya menjadi konsumen pasif yang terjebak dalam budaya membeli, kita bisa mengubah cara kita memanfaatkan teknologi. Menggunakannya untuk menciptakan sesuatu yang bermakna, seperti karya seni, gerakan sosial, atau bahkan percakapan yang lebih mendalam, dapat menjadi langkah kecil menuju kebebasan sejati. Pada akhirnya, kebahagiaan tidak hanya terletak pada apa yang kita miliki, tetapi pada apa yang kita lakukan dan bagaimana kita memilih untuk hidup.

Penutup: Kembali ke Dimensi Kebebasan

Pada akhirnya, kritik Marcuse adalah sebuah panggilan untuk menemukan kembali esensi kebebasan. Kebebasan sejati bukanlah sekadar kemampuan untuk memilih di antara opsi-opsi yang ditawarkan, tetapi kemampuan untuk membayangkan alternatif yang sama sekali baru.

Dalam dunia yang sering kali memuja efisiensi dan konsumsi, penting bagi kita untuk berhenti sejenak dan bertanya: Apa yang benar-benar membuat hidup kita bermakna? Marcuse mengingatkan kita bahwa kebahagiaan tidak berasal dari kepemilikan, tetapi dari pemahaman diri dan hubungan yang kita bangun dengan orang lain serta dunia di sekitar kita.

Apakah kita siap untuk melangkah keluar dari dimensi satu ini? Jawaban atas pertanyaan ini tidak datang sekaligus, tetapi dari keputusan-keputusan kecil yang kita buat setiap hari.

Admin

Sabda Literasi Palu

Platform yang menawarkan artikel dengan pemikiran filosofis mendalam, koleksi ebook eksklusif dan legal, serta layanan penyelesaian tugas kuliah dan sekolah yang terpercaya.

Rekomendasi Artikel

Produk Kami