Krisis Epistemologi dalam Islam: Analisis terhadap Stagnasi Pemikiran dan Glorifikasi Ulama Klasik
Menganalisis krisis epistemologi dalam Islam yang ditandai oleh taklid buta, stagnasi pemikiran, dan glorifikasi ulama klasik.
Kegelisahan mendalam kian menghantui benak saya tatkala mengamati fenomena yang mengindikasikan kemunduran intelektual di kalangan sebagian umat Muslim.
Terdapat kecenderungan yang semakin nyata untuk mengagungkan, bahkan mengisahkan ulama klasik secara berlebihan, seolah-olah mereka adalah figur-figur yang tak tersentuh dan pemikirannya tak terbantahkan.
Narasi-narasi seperti "kontribusi mereka tidak sebanding dengan ulama besar terdahulu, seperti Syafi'i, Hambali, dll" atau "oh kira siapa Imam Syafi'i? Ulama besar itu, kita tidak seberapa dibandingkan mereka" seringkali ditemui, menciptakan sebuah iklim anti-intelektual yang membatasi ruang gerak bagi lahirnya pemikiran kritis dan inovatif.
Situasi ini, menurut analisis saya, merupakan sinyal yang sangat kuat akan adanya krisis epistemologi yang tengah melanda sebagian umat Islam.
Akar Historis Krisis Epistemologi
Krisis epistemologi ini, dalam kerangka berpikir saya, bukanlah fenomena yang timbul secara tiba-tiba. Ia merupakan konsekuensi dari kegagalan dalam memahami sejarah dan menempatkan diri dalam alur perkembangan pemikiran Islam. Sejarah menunjukkan bahwa para ulama besar di masa lalu, seperti Imam Syafi'i, justru lahir dari proses dialektika dan kritikan terhadap pemikiran yang telah mapan sebelumnya.
Syafi'i, sebagai contoh, hidup di era ketika Imam Malik merupakan tokoh sentral dalam diskusi fikih. Namun, alih-alih terpaku pada otoritas dan kebesaran nama Malik, Syafi'i justru memilih untuk menggunakan nalar kritisnya, mempelajari, menelaah, dan mencari falsifikasi dari pemikiran Malik.
Melalui perjalanan intelektual yang panjang dan penuh pergulatan, Syafi'i pada akhirnya berhasil merumuskan sebuah mazhab fikih baru yang lebih responsif terhadap dinamika sosial pada zamannya. Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian adalah, mengapa semangat kritis dan proses intelektual yang diperlihatkan oleh Syafi'i ini seakan sirna di era kontemporer?
Faktor-faktor Penyebab Krisis Epistemologi
Salah satu faktor krusial yang berkontribusi terhadap hilangnya semangat kritis tersebut, menurut pendapat saya, adalah kecenderungan untuk menikmati hasil tanpa bersedia menelusuri proses. Umat Islam masa kini cenderung lebih memilih untuk menerima ajaran agama secara instan, tanpa mau berusaha keras untuk mempelajari sumber-sumber aslinya, mengkaji dalil-dalilnya, dan memahami konteks historisnya.
Mereka lebih suka mengikuti fatwa ulama secara taklid buta, tanpa memahami landasan epistemologis dan argumentasi logis dibaliknya. Sikap demikian, dalam perspektif saya, sangatlah berbahaya karena dapat mengantarkan umat Islam pada kejumudan, stagnasi pemikiran, dan fanatisme yang berlebihan.
Di samping itu, perkembangan teknologi informasi, khususnya media sosial, juga turut memperparah krisis epistemologi ini. Media sosial, meskipun memiliki potensi untuk menyebarkan informasi secara cepat dan luas, namun di sisi lain juga sangat rentan terhadap penyebaran hoaks, propaganda, dan ujaran kebencian yang dapat merusak tatanan sosial. Banyak oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan ajaran-ajaran agama yang menyimpang, menyesatkan, dan berpotensi memecah belah umat.
Hal ini tentu saja semakin mempersulit umat Islam, terutama generasi muda, untuk menyaring dan memilih informasi yang benar, akurat, dan bermanfaat.
Urgensi Kemandirian Intelektual dan Semangat Kritis
Dalam kaitan ini, saya ingin menggarisbawahi urgensi untuk mengembangkan kemandirian intelektual dan semangat kritis di kalangan umat Islam. Kita perlu merevitalisasi tradisi ijtihad, yaitu upaya sungguh-sungguh yang sistematis dan metodologis untuk menemukan kebenaran dengan menggunakan segenap potensi akal sehat, pengetahuan, dan pengalaman yang dimiliki.
Ijtihad bukanlah sesuatu yang terlarang atau bertentangan dengan ajaran Islam, sebagaimana yang kerap kali dituduhkan oleh sebagian kelompok. Ijtihad justru merupakan sebuah kewajiban bagi setiap Muslim yang ingin memahami agamanya secara komprehensif dan mengamalkannya secara kontekstual sesuai dengan tuntutan zaman.
Umar bin Khattab, seorang khalifah yang dikenal dengan kearifan dan keadilannya, merupakan sosok teladan dalam hal ijtihad. Beliau tidak ragu untuk menggunakan akal sehat dan pertimbangan rasional dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang tidak ditemukan jawabannya secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan hadis.
Umar menyadari bahwa ijma, meskipun merupakan konsensus para ulama, tidaklah bebas dari kemungkinan keliru. "Jika benar itu dari Allah, dan jika salah itu adalah tanggung jawab Umar," demikian ungkapan Umar yang merefleksikan sikap kritis dan rasa tanggung jawab intelektualnya.
Sayangnya, sikap Al-Faruq yang dimiliki oleh Umar ini semakin langka ditemukan di kalangan umat Islam saat ini, yang cenderung lebih memilih untuk mengikuti arus mainstream dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang menantang dan memerlukan pemikiran mendalam.
Contoh inspiratif lain yang dapat kita petik dari Umar adalah pandangannya yang kritis terhadap Hajar Aswad. "Jika bukan karena Nabi, saya tidak akan mencium bongkahan batu ini," tegasnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Umar menempatkan nalar dan logika di atas mitos dan takhayul.
Ia tidak ingin terperangkap dalam ritual-ritual keagamaan yang tidak memiliki landasan rasional yang kuat. Namun, ironisnya, sebagian umat Islam di era modern ini justru menganggap Hajar Aswad sebagai objek suci yang harus dihormati dan dicium, tanpa memahami makna simbolik dan konteks historis dibaliknya secara mendalam.
Berbicara mengenai ilmu hadis, saya teringat dengan nasihat bijak dari almarhum Prof. Dr. Abidin, M.Ag., guru besar Ulumul Hadis di salahsatu kampus ternama di Indonesia. Beliau selalu menekankan bahwa validitas suatu hadis (shahih atau dhaif) sangat bergantung pada kapasitas keilmuan dan kerangka berpikir dari orang yang menilainya.
"Jadi, jika ingin menyatakan suatu hadis itu sahih atau dhaif, harus disertai dengan keterangan menurut siapa?", demikian penegasan beliau. Prof. Abidin juga selalu mengingatkan kita untuk tidak menganggap Imam Bukhari dan Imam Muslim sebagai otoritas yang absolut dan tak terbantahkan dalam ilmu hadis.
Menurut Abidin bahwa keduanya juga manusia biasa yang memiliki keterbatasan dalam kapasitas ilmu dan kerangka berpikir. Pandangan Abidin ini mengandung pesan moral yang sangat penting, yaitu bahwa dalam menilai autentisitas suatu hadis, kita tidak boleh terbelenggu oleh otoritas perawi atau pengumpul hadis, sekalipun itu adalah Imam Bukhari dan Imam Muslim. Kita harus menggunakan nalar kritis, pengetahuan, dan metodologi yang valid untuk menganalisis dan memverifikasi kebenaran suatu hadis.
Lebih lanjut, saya sepakat dengan argumen yang menyatakan bahwa penelitian sejarah, termasuk di dalamnya penelitian hadis, haruslah dilakukan secara komprehensif, objektif, dan ilmiah, tidak hanya mengandalkan sanad (mata rantai periwayatan) semata.
Validasi hadis melalui jalur sanad, menurut hemat saya, tidaklah cukup karena kita tidak memiliki kemampuan untuk memverifikasi secara pasti kejujuran dan kredibilitas seluruh perawi dalam mata rantai periwayatan hadis tersebut. Penelitian sejarah haruslah didasarkan pada data dan fakta yang objektif, bukan pada asumsi dan interpretasi subjektif yang rentan terhadap bias dan kepentingan tertentu.
Ciri-ciri dan Solusi Mengatasi Krisis Epistemologi
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa krisis epistemologi dalam Islam dicirikan oleh beberapa faktor fundamental, di antaranya:
- Taklid buta terhadap ulama klasik.
- Keengganan untuk berpikir kritis dan berijtihad.
- Glorifikasi yang berlebihan terhadap teks keagamaan dan tradisi.
- Pengabaian terhadap konteks sejarah dan sosial dalam memahami ajaran agama.
Mengatasi krisis epistemologi ini memerlukan transformasi paradigma dalam beragama, dari yang bersifat dogmatis dan taklid menjadi lebih kritis, dinamis, dan transformatif. Umat Islam perlu mengembangkan kemandirian intelektual, menguji kembali pemahaman agama yang telah mapan, serta menghidupkan semangat ijtihad dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.
Kita perlu menciptakan ruang dialog yang inklusif, di mana setiap individu memiliki kebebasan untuk mengekspresikan gagasannya, berdebat secara ilmiah, dan mengkritisi pemikiran yang ada, tanpa merasa takut untuk dihakimi atau dikucilkan. Hanya dengan cara inilah kita dapat mewujudkan cita-cita Islam sebagai rahmatan lil alamin, yaitu agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta.
Daftar Pustaka
- Azra, A. (2002). The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawaii Press.
- Esposito, J. L., & Mogahed, D. (2008). Who speaks for Islam?: What a billion Muslims really think. Gallup Press.
- Hourani, G. F. (1991). Reason and tradition in Islamic ethics. Cambridge University Press.