Content Created with the help of AI |
Daftar Isi
Indonesia, negeri yang digembar-gemborkan dengan keramahan dan kesederhanaannya, menyimpan paradoks yang mencolok. Di balik senyuman ramah dan budaya gotong royong, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin menganga lebar. Ketimpangan ini, sayangnya, seringkali luput dari perhatian, bahkan terkadang dilegitimasi melalui candaan yang seolah "tak berbahaya".
Salah satu contoh yang cukup menggelitik sekaligus memprihatinkan adalah kasus Gus Miftah, seorang pendakwah kondang, yang melontarkan candaan kepada seorang pedagang es teh keliling. Dalam sebuah video yang viral, Gus Miftah dengan nada bercanda menyebut si pedagang "goblok" karena masih menjajakan dagangannya di tengah pengajian. Peristiwa ini, sekilas tampak sepele, namun sesungguhnya menyimpan permasalahan serius mengenai relasi kuasa dan privilege yang termanifestasi dalam bentuk humor.
Di sinilah, pemikiran Asghar Ali Engineer, seorang pemikir Islam progresif asal India, menjadi relevan. Engineer, dengan Teologi Pembebasan-nya, menawarkan perspektif kritis terhadap penggunaan agama, khususnya Islam, dalam konteks sosial-politik. Ia mengkritik keras penindasan struktural yang kerap kali dilegitimasi oleh tafsir keagamaan yang bias, dan menyerukan pentingnya ijtihad kontekstual yang berpihak pada kaum tertindas.
Lantas, bagaimana jika candaan Gus Miftah diuji dengan kacamata keadilan sosial Asghar Ali Engineer? Apakah humor tersebut sejalan dengan semangat pembebasan yang digaungkan Engineer, ataukah justru melanggengkan penindasan yang berusaha dilawannya? Tulisan ini akan mencoba menganalisis kasus Gus Miftah dari perspektif Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer, menguji apakah candaannya mempertahankan struktur penindasan, dan merefleksikan bagaimana seharusnya dakwah dilakukan dalam konteks ketidakadilan sosial di Indonesia.
Teologi Pembebasan: Agama sebagai Alat Kritik Sosial
Asghar Ali Engineer bukanlah nama asing dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Ia dikenal sebagai pelopor Teologi Pembebasan di dunia Islam, sebuah arus pemikiran yang mencoba menghidupkan kembali semangat rahmatan lil ‘alamin dalam Islam dengan menekankan aspek keadilan sosial dan pembebasan dari segala bentuk penindasan.
Engineer menawarkan perspektif yang berbeda dalam memahami agama. Baginya, agama bukanlah sekadar doktrin atau ritual yang terlepas dari realitas sosial. Agama, menurut Engineer, harus dipahami dalam konteks sosial-politik di mana ia berada. Ia menentang keras penggunaan agama untuk melegitimasi kekuasaan dan menindas kelompok marginal.
Salah satu poin penting dalam pemikiran Engineer adalah kritiknya terhadap penindasan struktural. Ia menganalisis bagaimana sistem sosial, ekonomi, dan politik seringkali menciptakan ketidakadilan dan menghasilkan kelompok-kelompok yang tertindas. Agama, dalam pandangan Engineer, seharusnya menjadi alat kritik terhadap struktur penindasan tersebut, bukan malah menjadi alat pelegitimasinya.
Engineer juga menekankan pentingnya konteks sosial dalam menafsirkan teks agama. Ia menolak tafsir literal yang kaku dan menyerukan perlunya ijtihad kontekstual yang responsif terhadap permasalahan sosial. Baginya, teks agama harus dibaca dan ditafsirkan dengan memperhatikan realitas sosial dan berpihak pada kaum tertindas.
Dalam konteks Indonesia, pemikiran Engineer sangat relevan untuk menganalisis berbagai permasalahan sosial yang ada. Ketimpangan sosial, diskriminasi, dan kekerasan yang masih terjadi menunjukkan bahwa penindasan struktural masih menjadi masalah serius di negeri ini. Agama, dalam hal ini, seharusnya berperan aktif dalam melawan penindasan tersebut dan memperjuangkan keadilan sosial.
Humor yang "Melanggengkan" Penindasan
Kembali pada kasus Gus Miftah, candaan yang ia lontarkan kepada pedagang es teh keliling tampaknya bertentangan dengan semangat Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer. Alih-alih membebaskan, candaan tersebut justru mempertahankan struktur kekuasaan yang menindas dan merendahkan martabat kaum miskin.
Dalam candaannya, Gus Miftah secara implisit menunjukkan posisi privilege-nya sebagai seorang pendakwah kondang yang memiliki akses ke ruang publik dan dihormati oleh banyak orang. Sementara si pedagang es teh, yang berada di posisi marginal, menjadi objek candaan yang merendahkan. Candaan tersebut seolah menegaskan bahwa si pedagang "tidak tahu tempat" dengan berjualan di tengah pengajian, sebuah ruang yang didominasi oleh kelas menengah ke atas.
Candaan Gus Miftah juga menunjukkan kurangnya kesadaran akan penindasan struktural. Ia gagal memahami bahwa kemiskinan yang dialami si pedagang es teh bukanlah sekadar masalah individual, melainkan juga merupakan produk dari sistem sosial yang tidak adil. Dengan melontarkan candaan tersebut, Gus Miftah secara tidak langsung mempertahankan status quo dan menghalangi upaya pembebasan kaum miskin.
Dakwah yang Membebaskan: Belajar dari Asghar Ali Engineer
Kasus Gus Miftah memberikan pelajaran berharga bagi para pendakwah di Indonesia. Dakwah seharusnya menjadi alat pembebasan dan pemberdayaan, bukan alat penindasan atau pemeliharaan status quo. Dakwah yang membebaskan adalah dakwah yang kritis terhadap kekuasaan, membela hak-hak kaum tertindas, dan mendorong transformasi sosial.
Asghar Ali Engineer memberikan contoh bagaimana seorang pemikir agama dapat berperan aktif dalam memperjuangkan keadilan sosial. Ia tidak segan-segan mengkritik kebijakan pemerintah yang menindas dan membela hak-hak kaum minoritas. Ia juga aktif dalam berbagai gerakan sosial yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Para pendakwah di Indonesia dapat belajar banyak dari pemikiran dan aksi nyata Asghar Ali Engineer. Mereka perlu meningkatkan kesadaran kritis terhadap realitas sosial dan menggunakan agama sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan sosial. Dakwah yang membebaskan adalah dakwah yang mampu menyentuh hati dan pikiran umat, serta mendorong mereka untuk berperan aktif dalam mewujudkan perubahan sosial.
Kesimpulan: Menggapai Rahmatan lil ‘Alamin melalui Keadilan Sosial
Candaan Gus Miftah kepada pedagang es teh keliling menyingkap realitas yang memprihatinkan di Indonesia. Ketimpangan sosial dan penindasan struktural masih menjadi masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian serius. Agama, dalam hal ini, seharusnya menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.
Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer menawarkan perspektif kritis dalam memahami agama dan perannya dalam masyarakat. Agama seharusnya menjadi alat pembebasan dan pemberdayaan, bukan alat penindasan atau pemeliharaan status quo. Dakwah yang membebaskan adalah dakwah yang kritis terhadap kekuasaan, membela hak-hak kaum tertindas, dan mendorong transformasi sosial.
Sudah saatnya para pendakwah di Indonesia, termasuk Gus Miftah, merefleksikan diri dan belajar dari pemikiran Asghar Ali Engineer. Dakwah yang berpihak pada keadilan sosial adalah dakwah yang sesungguhnya mencerminkan semangat rahmatan lil ‘alamin. Hanya dengan cara itulah, agama dapat menjadi kekuatan positif dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih adil, makmur, dan bermartabat.
Bibliography:
- Engineer, A. A. (1999). Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam. New Delhi: Sterling Publishers.
- Engineer, A. A. (2000). The Rights of Women in Islam. New Delhi: Sterling Publishers.
- Esack, F. (1997). Qur'an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld Publications.