Kasus SPBU Palu dan Soekarnoisme: Keadilan Sosial Belum Usai
Oknum aparat menampar manajer SPBU di Palu. Bagaimana Soekarno akan merespons? Artikel ini mengulas kasus tersebut dari perspektif Soekarnoisme, mengkritisi penyalahgunaan kuasa & mendorong keadilan sosial. Revolusi belum selesai!
Indonesia, negeri yang diproklamirkan kemerdekaannya dengan lantang di tahun 1945, masih terus bergulat dengan problematika relasi kuasa dan keadilan sosial. Kasus penamparan seorang manajer SPBU di Palu oleh oknum aparat —sebagaimana tergambar dalam berita yang saya baca— menjadi sebuah cermin betapa ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan masih menghantui negeri ini. Ironisnya, pelaku kekerasan justru berasal dari kalangan yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat.
Saya tertarik untuk menganalisis kasus ini melalui kacamata Soekarnoisme, sebuah ideologi yang lahir dari rahim perjuangan kemerdekaan Indonesia. Soekarno, sang proklamator, dengan gigih menyuarakan pentingnya keadilan sosial dan menentang segala bentuk penindasan.
Pertanyaannya, bagaimana seandainya Soekarno masih hidup dan menyaksikan peristiwa ini? Apa yang akan ia katakan? Bagaimana ia akan menggugat relasi kuasa yang tidak seimbang antara aparat dan rakyat?
Pada tulisan kali ini, saya ingin mengajak para pembaja untuk merenungkan kembali esensi dari Soekarnoisme dan menghidupkan semangat perjuangan untuk mewujudkan Indonesia yang berkeadilan sosial.
Kita akan mencoba menganalisa kasus penamparan di SPBU Palu yang dilakukan oleh oknum tentara dari perspektif Soekarnoisme, mengkritisi tindakan oknum aparat, dan mendorong reformasi birokrasi serta penegakan hukum yang adil. Sebab, revolusi belum selesai!
Soekarnoisme: Trisila dan Keadilan Sosial
Soekarnoisme bukanlah sekedar sebuah ideologi politik, melainkan sebuah pandangan hidup yang berakar dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Trisila, yang menjadi inti dari Soekarnoisme, menekankan pada sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketiga sila di atas saling melengkapi dan menopang satu sama lain, mewujudkan sebuah sistem kehidupan yang berlandaskan persatuan, keadilan sosial, dan kerakyatan.
Soekarno dengan tegas menentang penindasan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa. Baginya, pemerintah ada untuk melayani rakyat, bukan sebaliknya. "Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!," serunya dalam sebuah pidato yang menyemangat generasi muda untuk berjuang demi kemerdekaan dan keadilan. Soekarno mengingatkan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk memajukan kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Dalam tulisannya yang berjudul "Di Bawah Bendera Revolusi", Soekarno menegaskan pentingnya keadilan sosial sebagai salah satu pilar negara Indonesia. Ia menyerukan agar semua warga negara mendapatkan perlakuan yang adil dan merata, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan. Soekarno bermimpi tentang Indonesia yang makmur dan sejahtera, di mana semua rakyatnya dapat hidup dengan layak dan bermartabat.
"Revolusi Belum Selesai!": Menggugat Mental Feodal Oknum Aparat
Kasus penamparan di SPBU menunjukkan bahwa mentalitas feodal masih bercokol di kalangan oknum aparat. Sikap sewenang-wenang, arogan, dan merasa berada di atas hukum menunjukkan bahwa revolusi mental yang dicita-citakan Soekarno belum sepenuhnya terwujud.
Soekarno pernah mengatakan, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Kalimat ini seakan menjadi ramalan bahwa musuh terbesar bangsa Indonesia bukanlah penjajah asing, melainkan bangsa Indonesia itu sendiri. Mentalitas feodal yang mengakibatkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan penghalang terbesar bagi kemajuan bangsa.
Meskipun Indonesia telah merdeka selama puluhan tahun, namun "revolusi belum selesai". Mentalitas feodal masih tertanam di sebagian masyarakat, termasuk di kalangan aparat.
Mereka yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat justru berperilaku seolah-olah menjadi penguasa yang dapat berbuat sewenang-wenang. Kasus penamparan di SPBU hanyalah satu contoh kecil dari sekian banyak kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum aparat.
Oleh karena itu, revolusi mental harus terus digaungkan. Kita harus mengubah cara pandang dan perilaku masyarakat, terutama para penguasa dan aparat, agar lebih menghargai martabat manusia dan menjunjung tinggi keadilan sosial. Pendidikan karakter, penegakan hukum yang tegas, dan kepemimpinan yang teladan merupakan faktor-faktor penting dalam mewujudkan revolusi mental ini.
Menggugat Relasi Kuasa Aparat-Rakyat
Relasi kuasa antara aparat dan masyarakat sipil di Indonesia seringkali tidak seimbang. Aparat, dengan segala atribut dan kewenangannya, cenderung diposisikan sebagai penguasa yang berada di atas rakyat. Hal ini menyebabkan masyarakat sipil seringkali merasa takut dan terintimidasi ketika berhadapan dengan aparat.
Kasus penamparan di SPBU merupakan salah satu contoh dari penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum aparat yang merasa kebal hukum dan tidak menghormati hak-hak masyarakat. Tindakan main hakim sendiri menunjukkan bahwa oknum aparat tersebut tidak paham akan tugas dan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Soekarno menekankan pentingnya pemerintah untuk dekat dengan rakyat, mendengarkan aspirasi mereka, dan melayani mereka dengan sebaik-baiknya. "Jas merah", sebutan untuk para pejuang kemerdekaan, harus menjadi contoh bagi para aparat dalam mengabdi kepada bangsa dan negara. Mereka harus menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Reformasi birokrasi dan peningkatan kesadaran akan hak asasi manusia menjadi sangat penting untuk mengubah relasi kuasa yang tidak seimbang ini. Aparat harus diberikan pemahaman bahwa mereka adalah pelayan masyarakat, bukan penguasa yang dapat berbuat sewenang-wenang. Masyarakat sipil juga perlu diberdayakan agar lebih berani menyuarakan pendapat dan memperjuangkan hak-haknya.
Mencari Keadilan dan Mendorong Reformasi
Akses keadilan bagi korban kekerasan dan penindasan oleh aparat masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Seringkali, korban justru diintimidasi dan dipersulit ketika mencoba mencari keadilan. Sistem hukum dan birokrasi yang rumit dan berbelit-belit seringkali menjadi penghalang bagi korban untuk mendapatkan keadilan.
Kasus penamparan di SPBU menunjukkan betapa sulitnya mencari keadilan bagi rakyat kecil. Oknum aparat yang melakukan kekerasan cenderung dilindungi oleh kesatuannya, sementara korban dibiarkan berjuang sendiri. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
Soekarno bercita-cita tentang Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Cita-cita ini hanya dapat terwujud jika sistem hukum dan birokrasi berjalan dengan baik dan berpihak pada rakyat. Reformasi birokrasi dan penegakan hukum yang adil menjadi sangat krusial untuk mewujudkan Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk mendorong reformasi ini. Masyarakat harus aktif menyuarakan pendapat, mengkritisi kebijakan yang tidak pro-rakyat, dan berperan serta dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Para pemimpin dan aparat harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk melayani rakyat dan menegakkan keadilan.
Mewujudkan Cita-cita Soekarnoisme
Soekarnoisme bukanlah sekedar sebuah ideologi masa lalu. Ia adalah sebuah pandangan hidup yang relevan untuk diimplementasikan dalam konteks Indonesia modern. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Soekarnoisme, seperti keadilan sosial, persatuan, dan kerakyatan, harus terus kita hidupkan dan perjuangkan.
Kasus penamparan di SPBU menjadi sebuah peringatan bagi kita semua bahwa perjuangan mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur masih jauh dari selesai. Kita harus terus bersama-sama berjuang melawan segala bentuk ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan. Kita harus terus mengingatkan para penguasa dan aparat bahwa mereka ada untuk melayani rakyat, bukan untuk menindas mereka.
Marilah kita bersama-sama mewujudkan cita-cita Soekarnoisme, yaitu Indonesia yang berkeadilan sosial, menghormati hak asasi manusia, dan menjunjung tinggi martabat setiap warga negaranya.
Kita harus berani menyuarakan kebenaran, mengkritisi ketidakadilan, dan berperan aktif dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Sebab, revolusi belum selesai!
Referensi
- Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo, 2015.
- https://palu.tribunnews.com/2024/12/06/kronologi-oknum-aparat-tampar-manajer-spbu-di-palu-gegara-barcode-bbm
- https://www.viva.co.id/berita/nasional/1779065-tampar-manajer-spbu-gegara-ditolak-isi-bbm-tanpa-qr-code-danramil-biromaru-dilaporkan-ke-denpom