Dari Individu ke Sistem: Menguak Wajah Penindasan dalam Psikologi Mainstream

Psikologi mainstream, alat penindasan? Artikel ini mengungkap sisi gelap psikologi & mengajakmu menelusuri pendekatan kritis dan psikoanalisis untuk mencapai pembebasan sejati.

Psikologi, ilmu yang menjanjikan pemahaman mendalam tentang jiwa manusia, kini justru tampak kehilangan arah. Alih-alih menawarkan solusi bagi krisis subjektivitas modern, psikologi mainstream justru terjebak dalam lingkaran setan individualisme.

Saya melihat bagaimana individu —yang dijanjikan kebahagiaan dan kesuksesan— malah kian terasing dari dirinya sendiri dan dari sesamanya. Mereka terjebak dalam perlombaan tanpa akhir untuk menjadi yang terbaik, yang terkuat, yang terpintar, seolah-olah hidup adalah sebuah kompetisi yang harus dimenangkan.

Buku Psikoanalisis dan Revolusi yang baru saja saya baca membuka perspektif baru tentang bagaimana seharusnya psikologi dipahami. Ia menawarkan kritik radikal terhadap psikologi mainstream yang cenderung mengindividualisasi masalah dan mengabaikan faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi.

Buku ini mengajak kita untuk berpikir "di luar kotak", melampaui batas-batas individu dan menganalisis struktur sistemik yang menindas. Ia mengingatkan kita bahwa manusia bukanlah atom-atom yang terisolasi, melainkan makhluk sosial yang hidup dalam jaringan relasi yang kompleks.

Dalam tulisan kali ini, saya ingin mengajak Anda untuk menguji kembali apa yang selama ini kita anggap sebagai kebenaran dalam psikologi.

Kita akan membedah bagaimana psikologi mainstream berkontribusi pada penindasan dan mencari alternatif pendekatan psikologi yang sesungguhnya membebaskan. Sebab, saya yakin, pembebasan sejati hanya dapat dicapai melalui transformasi baik pada tataran individu maupun sistem.

Psikologi Mainstream: Ilmu Penyesuaian atau Alat Penindasan?

Psikologi mainstream, dengan segala cabangnya yang beragam, memiliki satu kesamaan: fokus pada individu. Ia mencoba menjelaskan perilaku dan pengalaman manusia seolah-olah individu adalah entitas yang terpisah dari lingkungan sosialnya.

Pandangan itu, menurut saya, sangat bermasalah dan menutupi realitas yang sebenarnya. Ia mengabaikan fakta bahwa manusia adalah makhluk sosial yang dibentuk oleh interaksi dan struktur sosial di sekitarnya.

Dalam masyarakat kapitalis, psikologi mainstream berfungsi sebagai alat untuk mendisiplinkan dan menyesuaikan individu dengan tuntutan sistem. Ia mengajarkan individu untuk menjadi produktif, efisien, dan kompetitif, sejalan dengan kebutuhan pasar.

Individu yang tidak mampu memenuhi standar ini akan dianggap abnormal dan membutuhkan perbaikan. Seolah-olah ada sebuah cetakan yang harus diikuti oleh semua orang, dan mereka yang tidak sesuai akan dipaksa untuk masuk ke dalamnya.

Psikologi mainstream juga berperan dalam menjaga stabilitas sosial dengan cara mengaburkan struktur kekuasaan yang menindas. Ia menciptakan ilusi bahwa masalah sosial merupakan akumulasi dari masalah individu.

Kemiskinan, kejahatan, dan konflik sosial dipandang sebagai hasil dari kegagalan individu dalam mengelola diri dan beradaptasi dengan lingkungan. Dengan cara ini, psikologi mainstream menghilangkan pertanyaan kritis tentang sistem yang menindas dan melanggengkan ketidakadilan.

Contoh nyata dapat kita lihat dalam dunia kerja. Tes psikologi digunakan untuk menyeleksi karyawan, mencari individu yang paling cocok dengan kebutuhan perusahaan. Karyawan yang mengalami stres atau depresi akibat pekerjaan cenderung dianggap memiliki masalah pribadi yang harus diselesaikan sendiri.

Tak pernah ada pertanyaan kritis tentang sistem kerja yang eksploitatif dan menindas. Seolah-olah kesalahan selalu ada pada individu, bukan pada sistem yang menciptakan kondisi yang menindas.

Menelanjangi Kekerasan Simbolik dalam Wacana Psikologi

Pierre Bourdieu, seorang sosiolog terkemuka, memperkenalkan konsep symbolic violence untuk menjelaskan bentuk kekerasan yang terselubung dan bekerja melalui simbol-simbol, bahasa, dan struktur sosial.

Kekerasan simbolik menormalkan relasi dominasi dan menciptakan persepsi bahwa ketidakadilan adalah sesuatu yang alami. Ia bekerja secara halus, menyusup ke dalam alam bawah sadar dan membentuk cara pandang kita tentang dunia.

Psikologi mainstream, sayangnya, ikut berperan dalam melanggengkan kekerasan simbolik. Ia menciptakan kategori-kategori normal dan abnormal yang menyingkirkan kelompok-kelompok marginal.

Individu yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh kelompok dominan akan dianggap menyimpang dan membutuhkan perawatan. Dengan cara ini, psikologi mainstream membenarkan penindasan dan menjaga struktur kekuasaan yang ada.

Sebagai contoh, psikologi mainstream pernah mengkategorikan homoseksualitas sebagai gangguan mental. Labelisasi ini jelas menciptakan stigma dan diskriminasi terhadap individu LGBTQ+, membatasi kebebasan mereka untuk menjalani hidup yang otentik.

Hal itu menjadi salah satu contoh bagaimana psikologi mainstream digunakan untuk mengendalikan dan menormalkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang dominan.

Melampaui Ego: Menemukan Subjek yang Seutuhnya

Psikoanalisis, meskipun sering dianggap sebagai bagian dari psikologi mainstream, justru menawarkan kritik yang tajam terhadap konsep ego yang individualistis. Ego, dalam pandangan psikoanalisis, bukanlah pusat dari kesadaran manusia, melainkan sebuah konstruksi yang dibentuk oleh relasi sosial dan kekuatan-kekuatan tak sadar.

Ego tersebut adalah topeng yang kita kenakan untuk beradaptasi dengan dunia sosial, sebuah persona yang terbentuk dari interaksi kita dengan orang lain.

Psikoanalisis menawarkan konsep subjek yang lebih utuh dan dinamis. Subjek bukanlah entitas yang terisolasi, melainkan selalu terhubung dengan orang lain dan dunia di sekitarnya.

Subjek juga memiliki kemampuan untuk berubah dan bertumbuh, tidak terperangkap dalam pola-pola perilaku yang kaku. Ia adalah pusat dari pengalaman manusia, yang selalu berada dalam proses menjadi.

Psikoanalisis dapat membantu individu untuk memahami dan melawan kekuatan-kekuatan yang membatasi agensi mereka. Dengan menjelajahi alam bawah sadar, individu dapat mengidentifikasi trauma dan konflik yang belum terselesaikan, dan menemukan jalan menuju pembebasan diri.

Psikoanalisis menawarkan ruang untuk menguak lapisan-lapisan diri yang tersembunyi, memahami motivasi dan keinginan yang tidak sadar, dan menemukan kebebasan yang sesungguhnya.

Psikologi Kritis: Membebaskan Pikiran, Mengubah Dunia

Psikologi kritis hadir sebagai sebuah alternatif yang menawarkan pemahaman yang lebih membebaskan. Ia menolak individualisme metodologis dan menempatkan fokus pada sistem, kekuasaan, dan keadilan sosial.

Psikologi kritis menganalisis bagaimana struktur sosial dan relasi kekuasaan berpengaruh pada kondisi psikologis individu dan kelompok. Ia mengajak kita untuk melihat gambaran besar dari permasalahan psikologis, dan memahami bahwa individu tidaklah hidup dalam ruang hampa.

Melalui psikologi kritis, kita dapat memahami bahwa problem psikologis yang dihadapi individu bukanlah sekadar masalah pribadi, melainkan seringkali merupakan gejala dari ketidakadilan sistemik.

Kemiskinan, diskriminasi, dan marginalisasi dapat menimbulkan stres, depresi, dan berbagai gangguan mental lainnya. Psikologi kritis menunjukkan bahwa penyelesaian masalah psikologis tidak dapat dipisahkan dari perjuangan melawan ketidakadilan sosial.

Psikologi kritis tidak hanya menawarkan pemahaman, tetapi juga aksi. Ia mendorong individu untuk berperan aktif dalam mewujudkan perubahan sosial. Psikologi kritis diaplikasikan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan mental, dan aktivisme sosial.

Psikologi kritis adalah sebuah gerakan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk berkembang dan mencapai potensi sepenuhnya.

Maka pada kahirnya bisa kita lihat bahwa psikologi mainstream, dengan segala instrumen dan wacananya, telah menciptakan bentuk penindasan baru. Ia menjebak individu dalam lingkaran setan individualisme, menyalahkan korban, dan menormalkan ketidakadilan.

Kini saatnya kita menggugat hegemoni ini. Kita harus berani mempertanyakan kebenaran yang diajarkan oleh psikologi mainstream dan mencari alternatif yang lebih membebaskan.

Kita perlu mengembangkan kesadaran kritis dan mencari alternatif pemahaman yang lebih membebaskan. Psikoanalisis dan psikologi kritis menawarkan jalan keluar dari kebuntuan ini.

Mari kita bersama-sama menciptakan dunia yang lebih adil dan membebaskan, di mana setiap individu dihargai dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.

Bibliografi:

  • Parker, Ian dan Pavon-Cuellar, David. Psikoanalisis dan Revolusi. Basa Basi, 2022.
  • Bourdieu, Pierre. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press, 1977.

Admin

Sabda Literasi Palu

Platform yang menawarkan artikel dengan pemikiran filosofis mendalam, koleksi ebook eksklusif dan legal, serta layanan penyelesaian tugas kuliah dan sekolah yang terpercaya.

Rekomendasi Artikel

Produk Kami