Artis di Parlemen: Antara Popularitas atau Kapabilitas?

Apakah artis di DPR membawa perubahan atau sekadar memanfaatkan popularitas? Artikel ini mengulas perdebatan kritis tentang peran selebritas di parlemen.

Seiring dengan pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2024-2029, fenomena keterlibatan artis di panggung politik semakin mendapat sorotan. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), sekitar 24 selebritas berhasil terpilih sebagai anggota DPR, mewakili berbagai daerah pemilihan di Indonesia. Nama-nama seperti Eko Patrio, Desy Ratnasari, Ahmad Dhani, dan Verrell Bramasta kini resmi duduk di kursi legislatif. Muncul pertanyaan mendasar: apakah kehadiran mereka didasari oleh popularitas semata, atau benar-benar karena kapabilitas yang mereka miliki?

Fenomena Artis di Parlemen: Antara Pro dan Kontra

Keikutsertaan artis dalam politik memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian pihak memandang bahwa artis memiliki hak yang sama untuk terjun ke dunia politik. Mereka berharap kehadiran artis dapat membawa perhatian lebih pada isu-isu seni dan budaya. Namun, ada pula skeptisisme terhadap motif para artis ini, yang dianggap menjadikan politik sebagai jalur karier alternatif untuk memanfaatkan popularitas dan mendulang keuntungan ekonomi.

Subiran Paridamos, Direktur Eksekutif Sentral Politika, menjelaskan bahwa banyak pihak melihat keterlibatan artis di DPR sebagai “jalan pintas” menuju kekuasaan dan akses terhadap sumber daya ekonomi. Menurutnya, masuknya artis ke parlemen lebih didorong oleh modal popularitas daripada kompetensi substantif yang diperlukan dalam legislasi dan pengawasan Filsafat Kritis terhadap Popularitas sebagai Modal Politik.

Dari perspektif filsafat kritis, kita dapat mengeksplorasi fenomena ini melalui konsep-konsep yang diajukan oleh para pemikir kritis seperti Jürgen Habermas dan Pierre Bourdieu. Habermas menekankan pentingnya diskusi publik yang rasional dalam demokrasi. Menurutnya, politik seharusnya melibatkan pertukaran ide dan argumen yang rasional, bukan sekadar hasil dari modal popularitas. Di sisi lain, Bourdieu berargumen bahwa “modal sosial” (seperti popularitas) memainkan peran besar dalam dunia politik. Dalam konteks ini, artis memiliki modal sosial yang kuat, tetapi sering kali kurang dibekali dengan “modal budaya” yang relevan dengan tugas legislatif, seperti pemahaman tentang kebijakan publik, hukum, dan manajemen konflik .

Aspek Kepentingan Politik atau Representasi Warga Negara?

Dalam demokrasi, setiap warga negara memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Namun, menjadi anggota parlemen bukan hanya soal hak, melainkan juga tanggung jawab untuk memperjuangkan kepentingan publik. Artis dengan basis popularitas seringkali mendapat dukungan luas dari masyarakat karena mereka dikenal di luar konteks politik. Akan tetapi, jika mereka tidak memiliki pemahaman mendalam mengenai isu-isu legislatif, ada risiko bahwa mereka tidak akan mampu menjalankan tugas-tugas pokok parlemen secara efektif.

Pendekatan kritis terhadap fenomena ini adalah dengan mempertanyakan, apakah popularitas seharusnya menjadi modal utama untuk menduduki kursi parlemen? Dari sudut pandang filsafat etika, seorang pemimpin idealnya dipilih karena kompetensi dan integritasnya. Selebritas yang sukses memanfaatkan popularitas mereka untuk masuk ke parlemen dapat dilihat sebagai bentuk manipulasi modal sosial, bukan sebagai manifestasi dari kapabilitas yang nyata.

Kapabilitas dalam Parlemen: Tantangan Bagi Artis-Politikus

Para artis yang berhasil menduduki kursi parlemen kini dihadapkan pada tantangan besar: memenuhi ekspektasi masyarakat yang kritis terhadap kemampuan mereka dalam bidang legislatif. Menurut pandangan utilitarianisme yang diajukan oleh John Stuart Mill, keputusan politik seharusnya diambil berdasarkan pertimbangan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Jika seorang artis tidak mampu memenuhi harapan ini karena keterbatasan kapabilitas, maka kehadiran mereka di parlemen dapat dianggap sebagai beban daripada aset.

Masalah kapabilitas ini juga dilihat dari sudut pandang filsuf Jürgen Habermas, yang mengemukakan konsep “kompetensi komunikatif” dalam pengambilan keputusan politik. DPR adalah lembaga legislatif yang membutuhkan anggota dengan kemampuan berkomunikasi dan argumentasi yang baik untuk mencapai konsensus. Tanpa kemampuan ini, para artis berpotensi gagal menyampaikan aspirasi publik dengan efektif, sehingga proses legislasi berpotensi terhambat.

Peran Masyarakat dan Media dalam Mengawasi Artis di Parlemen

Salah satu isu krusial yang sering diangkat adalah bagaimana peran masyarakat dalam mengawasi kinerja para artis yang menjadi wakil rakyat. Masyarakat diharapkan memiliki sikap kritis terhadap performa anggota legislatif, termasuk artis. Media massa juga memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya melaporkan popularitas mereka, tetapi juga kinerja legislatif dan kontribusi yang mereka hasilkan bagi konstituen mereka.

Subiran Paridamos menekankan bahwa masyarakat perlu mengawasi kinerja para artis untuk memastikan mereka benar-benar menyerap aspirasi dan mengartikulasikan kebijakan yang relevan. Hal ini penting untuk menghindari kesan bahwa kehadiran artis di parlemen hanya menjadi bagian dari strategi politis yang berlandaskan popularitas .

Kesimpulan

Fenomena artis di parlemen memang membuka ruang diskusi tentang esensi representasi dalam politik demokrasi. Popularitas memang mempermudah selebritas untuk meraih suara, namun kapabilitas untuk menjalankan tugas-tugas legislatif adalah hal yang tidak bisa diabaikan. Popularitas tanpa kapabilitas yang mumpuni berpotensi menjadi ancaman bagi kualitas demokrasi. Artis di parlemen perlu menunjukkan bahwa mereka lebih dari sekadar sosok populer dan mampu memenuhi ekspektasi yang diemban oleh jabatan politik yang mereka duduki.

Pada akhirnya, fenomena ini harus dikaji secara kritis, dengan melibatkan berbagai perspektif dan memastikan bahwa politik tidak hanya menjadi arena popularitas, tetapi juga wadah bagi mereka yang benar-benar memiliki kemampuan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Kombinasi antara popularitas dan kapabilitas seharusnya menjadi standar bagi siapa pun yang ingin menjadi bagian dari parlemen, demi menjaga integritas dan kualitas demokrasi di Indonesia.

Referensi

  • CNN Indonesia. “Daftar Artis Dilantik Jadi Anggota DPR 2024-2029 Hari Ini.” Diakses pada 3 November 2024. Link CNN.
  • RMOL. “Pro Kontra Artis Berbondong-bondong Masuk Senayan.” Diakses pada 3 November 2024. Link RMOL.
  • CNBC Indonesia. “Media Asing Bongkar Penyebab Caleg Artis Menjamur di RI.” Diakses pada 3 November 2024. Link CNBC Indonesia.
  • Detik News. “Caleg Artis: Modal Sosial dan Popularitas.” Diakses pada 3 November 2024. Link Detik.
  • TVOne News. “Ada Fenomena Banyak Artis Jadi Anggota DPR, Rachel Maryam Sebut Stigma Buruk.” Diakses pada 3 November 2024. Link TVOne.
  • Habermas, Jürgen. The Theory of Communicative Action. Beacon Press, 1984.
  • Bourdieu, Pierre. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard University Press, 1984.
  • Mill, John Stuart. Utilitarianism. Longmans, Green, Reader, and Dyer, 1863.

Admin

Sabda Literasi Palu

Platform yang menawarkan artikel dengan pemikiran filosofis mendalam, koleksi ebook eksklusif dan legal, serta layanan penyelesaian tugas kuliah dan sekolah yang terpercaya.

Rekomendasi Artikel

Produk Kami